Hari Dunia Menentang Pekerja Anak, Ipung: Masih Banyak Pekerja Anak di Bali, Instansi Terkait Belum Bekerja Secara Maksimal
Denpasar-kabarbalihits
Hari Dunia Menentang Pekerja Anak diperingati setiap 12 juni. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran semua pihak terhadap isu pekerja anak yang masih terjadi di seluruh dunia.
Di Indonesia, Bali pada khususnya, pekerja anak masih dijumpai di tempat umum, meski Pemerintah Daerah telah melakukan upaya untuk mengurangi aktivitas pekerja anak namun tidak berjalan secara maksimal.
Pada momen ini pemerhati anak dan perempuan, Siti Sapurah menyebut, sebagai negara berkembang, Indonesia masih jauh panggang dari api untuk menuju sebagai negara maju. Sebab fakta di lapangan pekerja anak masih menjadi masalah serius dan mengkhawatirkan.
Dari pantauan Siti Sapurah akrab disapa Ipung, di wilayah Sunset road sekitar pukul 22.00 wita keatas masih terlihat anak-anak diatas 5 tahun mencari nafkah dengan menggendong bayi. Tidak dipungkiri aktivitas yang dilakukan anak-anak tersebut lantaran adanya dorongan orang tuanya, bahkan ada oknum yang mempekerjakan ke jalan.
“Saya kasih dia kue, dia tidak mau kue, dia minta uang. Jadi dia ingin uang yang disetor ke orang tuanya dan yang mengantarkan dia kesitu. Bahkan tidak sedikit dari mereka menjadi korban kejahatan seksual itu sendiri,” jelas Ipung saat diwawancara Senin, (22/6/2023).
Undang-Undang yang diterapkan Pemerintah tentang perlindungan anak dan kejahatan seksual anak dirasa tidak cukup untuk memberikan efek jera kepada para pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Instansi maupun lembaga yang menangani masalah tersebut dinilai belum bekerja dengan maksimal, karena kasus yang berkaitan dengan anak masih terulang.
“ini yang saya katakan jauh panggang dari api, mereka bekerja tidak sesuai dengan tupoksinya masing-masing,” katanya.
Pada pasal 34 ayat (1) yang berbunyi Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara juga dipandang tidak berjalan dengan maksimal. Sehingga upaya untuk menyelamatkan anak Indonesia dibutuhkan gerakan dari semua pihak.
“kita negara miskin, cuma negara miskin yang memperkerjakan anak di bawah umur. Kalau kita sedang berkembang harusnya itu sudah tidak ada di Indonesia. Ada wajib belajar 18 tahun tapi banyak anak miskin tidak sekolah, berarti itu lip service (janji di bibir),” pungkasnya.
Dinilai pekerja anak di Bali mengalami peningkatan signifikan, terlebih pada pasca pandemi Covid 19. Fenomena ini juga dipandang tidak akan berakhir.
“bahkan tidak hanya anak-anak yang ditaruh dijalanan, ART (Asisten Rumah Tangga) banyak dibawah umur bahkan yang di Pariwisata itu banyak anak-anak dibawah umur yang menawarkan cinderamata,” katanya.
Dalam masalah ini, tanggung jawab sebagai orang tua juga perlu dipertanyakan. Ditekankan kembali dengan adanya UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dan pekerja sosia di Dinas Sosial seharusnya bekerja dengan maksimal untuk selalu memberikan sosialisasi sampai ke tingkat bawah.
Tidak hanya kemiskinan sebagai pemicu berkembangnya pekerja anak di Indonesia, terpenting baginya adalah adanya tindak pidana perdagangan orang.
“banyak anak-anak yang dipekerjakan, apa itu nggak diekspolitasi secara ekonomi. Indikasinya juga ada dijual, harusnya disini Negara tegas. Orang tua kalau tidak sanggup mengasuh anak, negara yang harus merawatnya, menyekolahkan, kan negara mengatakan itu dalam Undang-Undang nya,” lanjut Ipung.
Ipung meyakini saat semua instansi terkait bisa bekerja dengan maksimal, permasalahan ini bisa dihapus kedepannya.
Dengan memiliki lahan di wilayah Serangan, Ipung berencana kedepannya akan mendirikan rumah aman yang bertujuan untuk merawat anak-anak terlantar di Bali dan bisa menyenyam pendidikan.
“saya punya niat sendiri ingin mengasuh mereka, saya akan sekolahkan mereka. Bagaimana saya bisa mencari uang untuk mereka,” imbuhnya. (kbh1)