Desa Adat Pecatu Gelar Dharma Wacana Maknai Fenomena Kesurupan, Kerauhan dan Ketedunan Dalam Prosesi Keagamaan
Badung-kabarbalihits
Desa Adat Pecatu Kecamatan Kuta Selatan melaksanakan Dharma Wacana untuk memaknai fenomena Kesurupan, Kerauhan dan Ketedunan dalam prosesi keagamaan sesuai dengan Loka Dresta Desa Adat Pecatu di Wantilan Murdha Ulangun desa adat tersebut, Kamis 9 Juni 2022. Melalui Dharma Wacana dengan narasumber Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda dari Geria Serongga Gianyar dan Praktisi sekaligus akademisi Komang Indra Wirawan atau yang lebih dikenal dengan Jro Komang Gases diharapkan menjadi awal dan dapat memberikan pemahaman dalam memudahkan Desa Adat Pecatu mengambil keputusan sesui sekala dan niskala terhadap fenomena kerauhan.
Kegiatan dihadiri Perbekel Pecatu Made Kayana Yadnya dan diikuti Prajuru desa, prajuru sabha desa, kerta desa, kelian banjar, kelian tempek,Paiketan Pemangku, Jagabya, Yowana, WHDI dan Dane Tapakan atau Dane Kulit dari masing masing Paibon dan Kahyangan Tiga serta Prasanak Ida Batara Luhur Uuwatu.
Kelian Desa Adat Pecatu, I Made Sumerta menyampaikan kegiatan yang dilakukan bertepatan dengan Hari Umanis Galungan ini sesuai dengan Dresta Desa Adat Pecatu dalam prosesi Nedunang Ida Batara melalui Petapakan ataupun Dane Kulit setelah proses pesamuan tedun dan parum Ida Batara semakin banyak orang atau warga mengalami kerauhan.
“Maka pada saat itu, kami lihat yang secara resmi kita Ulemin (undang,red) yang ikut parum dan disiapkan tempat yakni di Bale Panjang atau Mendak Sari di pura-pura yang merupakan tanggungjawab Desa Adat Pecatu baik kahyangan tiga banyak orang atau warga mengalami kerauhan,”ucapnya.
Melihat fenomena orang atau warga yang ketedunan,kesurupan , kerauhan atau apapun jenisnya terus bertambah, Made Sumerta bersama prajuru mengakui agak sulit memahami jenisnya apakah kesurupan, kerauhan atau ketedunan. Melalui Dharma Wacana dengan narasumber Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda dari Geria Serongga Gianyar dan Praktisi sekaligus akademisi Komang Indra Wirawan atau yang lebih dikenal dengan Jro Komang Gases, Made Sumerta berharap hal ini sebagai awal dan dapat memberikan pemahaman dalam memudahkan Desa Adat Pecatu mengambil keputusan sesuai sekala dan niskala.
“Kedepan Dharma Wacana ini akan kami lanjutkan tidak hanya terbatas kepada undangan yang hadir hari ini, namun juga kepada generasi pemerus kami di Desa Adat Pecatu agar tradisi atau Dresta di Desa Pecatu tidak hilang tapi juga harus dipilah -pilah untuk dilestarikan,” paparnya.
Made Sumerta yang juga Anggota DPRD Badung ini menyatakan kedepan Desa Adat Pecatu juga akan menerapkan aturan melalui pararem untuk ketertiban saat orang atau warga yang kerauhan berbicara apakah harus ditindaklanjuti atau tidak.
“Jadi di Pararem akan dimasukan siapa yang mendapatkan undangan saat petirtan atau pujawali dan siapa yang bertanggungjawab, hal ini yang kami tindaklanjuti,”tegasnya.
Sementara Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda dari Geria Serongga Gianyar menyatakan dijaman pos modern atau jama global yang berarti setelah modern serta tidak adalagi batas. Tentu tantangannya semakin meningkat antara yang baik dan buruk atau Rwa bhineda sehingga bagaimana Rwa Bhineda ini menjadi saling melengkapi untuk menunjang kehidupan ini. Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda Agama Hindu adalah srada terhadap keberadaan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Tuhan yang Maha Esa.
“keyakinan kepada Tuhan. Selain yakin keberadaan ISWW kita percaya kepada yang lain yakni ada keyakinan ada kepercayaan. Keyakinan harga mati, kepecayaan bisa dirubah seketika,”ujarnya.
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda mengatakan kerauhan, ketedunan dan kesurupan adalah hal yang berbeda yakni ada sangkaning mula Kelinggihan Ida Batara, Kerangsukan ring Unen-unen Ida Batara dan rasa emosi yang berlebihan disebut “Pangluh” ada juga Ketedunan yang berarti dari atas turun kebawah. Disinilah agama sebagai saripati spirit masuk berperan. Agama Hindu sebagai agama seni melalui pengelolaan emosi secara baik. Namun emosi ke agama adalah hal yang berbeda dan hal ini tidak sedikit terjadi di masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Komang Indra Wirawan menyampaikan saat manusia belum dapat dikategorikan sebagai seorang manusia ketika belum mengerti dan faham hakekat arti dari manusia itu sehingga masih disebut Jelema jelegne gen manusa pertingkahne beburon (wujudnya manusia tingkah lakunya binatang, red).
“Apa yang menyebabkan?, ketika kita belum bisa memproses diri kita menjadi lebih baik sehingga disana adat seni dan budaya warisan yang selalu mengingatkan kita untuk mencari jati diri,”ujarnya.
Agama lanjut Komang Indra Wirawan merupakan salah satu hal yang mengharuskan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik sekaligus menjadi ketenangan bathin atau ketenangan jiwa.Disaat menjalankan swadarma dan swagina juga terdapat seni adat dan budaya salah satunya ada trasdisi Kerauhan. Kerauhan juga adalah fenomena yang tidak dapat dinilai salah atau benar namun tergantung cara menyikapi hal tersebut.
“Karena sesuatu hal yang dinyatakan patut berdasarkan proses, ruang dan waktu. Tempatnya yang menyatakan itu patut (benar,red),”terangnya.
Kerauhan itu kata dia juga adalah sugesti keyakinan, kepercayaan tetapi harus dengan legalitas jelas. Kerauhan berarti rauh atau menghadirkan. Dalam konsep ajaran Agama Hindu ketika yadnya memargi atau berproses terdapat tiga hal yakni menghadirkan, menyatukan dan melepaskan.
“Kerauhan itu menghadirkan yang terjadi dalam sakralisasi. Jadi harus diingat ada upakara sebagai landasan untuk menghadirkan yang bersifat sakral, karena kita memiliki sebuah keyakinan,”tegasnya. Kbh6