
Apa Dampak Dari Emosi?
Gianyar-kabarbalihits
“Jangan mengambil keputusan pada saat emosi.” “Jangan bertindak karena emosi.” “Jangan emosi dulu.”
Itu adalah beberapa ungkapan yang menggambarkan betapa ‘emosi’ memegang peran penting dalam perilaku manusia. Akan tetapi kalau mengacu kepada ungkapan di atas, emosi cenderung diartikan sebagai sesuatu yang negatif (hawa amarah, kesal, jengkel). Hal ini tidaklah sepenuhnya salah, karena ada kalanya kita berucap/melakukan tindakan yang melampaui permasalahan itu sendiri, kemudian menyesal setelah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatan itu. Misalnya, seorang ayah yang memarahi anaknya sedemikian rupa hanya karena si anak memecahkan sebuah gelas. Saking kerasnya sang ayah memarahi si anak sampe-sampe si anak gemetaran lalu pingsan. Karena si anak pingsan, kemudian sang ayah merasa menyesal akan tindakannya.
Jika ditelusuri lebih lanjut, emosi lebih mengacu kepada sesuatu yang dirasakan (perasaan/suasana hati) pada saat itu. Dengan demikian ‘emosi’ bisa dibagi menjadi dua; emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif terkait dengan rasa nyaman, senang, bahagia. Sedangkan emosi negatif bisa berupa amarah, jengkel, kesal, capai.
Emosi positif lebih mengacu kepada ‘reward’ (ganjaran) setelah kita melakukan suatu tindakan. Betapa senangnya hati kita ketika bisa membelikan anak hadiah, misalnya sebuah sepeda baru; sebuah hadiah yang memang sejak lama didambakan oleh sang anak. Sang anak tidak kepalang gembiranya. Hal ini membuat kita merasa senang, nyaman. Demikian pula ketika kita berbuat amal, apakah berdonasi, menyumbangkan tenaga maupun barang pada sebuah acara amal. Dan tidak terhingga gembiranya, ketika kita mendapat kenaikan gaji di tempat kerja, atau orang yang sudah lama kita taksir akhirnya menyatakan ‘Yess’. Tentu masih banyak contoh-contoh peristiwa seperti itu yang menimbulkan emosi positif. Dari contoh-contoh di atas, bisa ditarik sebuah premis bahwa emosi positif timbul setelah melakukan sebuah tindakan yang tentunya membuat orang lain senang atau bermanfaat untuk mereka. Akan tetapi perasaan positif bisa juga timbul setelah kita menerima sesuatu dari orang lain (nasehat/saran yang konstruktif, hadiah, uang, barang).
Sebaliknya, emosi negatif cenderung lebih bersifat ‘respon’ dan seolah-olah seperti perintah, meminta kita untuk bertindak. Misalnya, jika kita adalah orang yang sangat peduli dengan kebersihan lingkungan, pasti akan jengkel melihat ada orang yang membuang sampah sembarangan. Kita mungkin akan mengumpat atau malah marah kepada orang bersangkutan. Demikian pula, jika kita mendengar ada orang yang membicarakan kita di belakang, maka kita akan marah bahkan bisa saja mencari orang bersangkutan. Jadi ada semacam perintah untuk bertindak.
Emosi positif dan emosi negatif datang silih berganti. Kita senang ketika mendapat pekerjaan baru yang gajinya lebih besar sesuai yag diidamkan tetapi siap-siap juga stres dengan beban pekerjaan, bos yang cerewet, maupun target perusahaan yang dibebankan kepada kita. Ketika kita merasakan emosi negatif selama proses itu, seolah-olah gaji besar tersebut tanpa makna. Saya pernah bekeja di perusahaan yang bos nya tiap hari marah-marah yang membuat saya ingin keluar saja dari perusahaan, walaupun gajinya lumayan. Namun saya tidak berdaya karena pesimis mendapat pekerjaan baru mengingat usia yang sudah tidak tergolong muda lagi.
Kita senang saat jatuh cinta dengan orang yang kita taksir, tetapi juga mesti siap-siap jengkel ketika sudah menikah harus beradu mulut tentang sesuatu. Kita senang ketika punya teman baru yang cocok, tetapi kita juga akan marah ketika suatu saat dia berbohong atau berkianat.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa kita lebih cenderung ingin merasakan emosi positif yang lebih banyak, bila perlu yang permanen. Dengan kata lain, kita menyukai ide tentang hal-hal yang menyenang dan kebahagian. Karena itu, kita akan cenderung mengejar hal-hal yang kita inginkan yang akan membuat kita merasa bahagia; ingin memiliki rumah yang lebih besar, uang yang lebih banyak, pasangan lebih cantik, mobil lebih banyak. Namun pada kenyataan apa yang membuat kita nyaman, senang, sebenarnya juga akan membawa serta duka dan nestapa bersamanya. Setiap kita mencapai sebuah tingkat kesenangan, maka bersiap-siaplah juga menerima konsekwensi (aspek dukanya). Pasangan idaman yang Anda pilih adalah orang yang nantinya Anda ajak berselisih faham masalah pilihan tempat makan, genre film, hobi, ketertarikan. Pekerjaan idaman Anda adalah pekerjaan yang sekaligus membuat Anda stres. Kendaraan yang Anda sayangi sekaligus adalah kendaraan yang harus Anda rawat.
Jadi, boleh dibilang hidup dalam banyak hal adalah permainan emosi. Parahnya lagi perkembangan jaman yang semakin materialistis, dengan kawalan propaganda-propaganda media/iklan tentang gambaran ideal (tubuh langsing, kulit putih, rumah dengan peralatan moderan, barang-barang elektronik canggih) menuntut orang untuk cenderung lebih ‘mengejar’ guna memenuhi keinginan ataupun mewujudkan ‘visualisasi angan-angan’nya akan kehidupan yang selalu memuaskan, menyenangkan, membahagiakan. Tetapi sepertinya memang hal tersebut tidak akan pernah terwujud.
Riwayat Penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.


