December 6, 2024
Ekonomi Opini

Mau Kaya atau Bahagia?

Gianyar-kabarbalihits

Jika kita tanyakan kepada murid-murid dalam sebuah ruangan kelas, tentang cita-cita mereka, maka bisa ditebak apa saja cita-cita mereka. Bisa ditebak, pasti tidak jauh-jauh dari profesi mainstream; dokter, insinyur, pilot, pengacara dan sebagainya. Kalau dikejar lagi dengan pertanyaan mengapa, biasanya jawaban yang keluar adalah karena profesi itu  bisa membuat hidup mapan, kaya, gagah, dan terpandang. Dan tidak akan ada yang akan menjawab untuk kemanusian atau membantu sesama, misalnya (walaupun yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan akan bisa membuat hidup mapan juga).

Kemudian, dari manakah mereka bisa memilih profesi-profesi itu sekalipun mereka belum terbayang bagaimana kerja dari masing-masing profesi itu? Tentu saja dari orang tua. Sering kita dengar bagaimana orang tua menyampaikan kalimat-kalimat seperti berikut:

“Nanti kalau kamu tamat kuliah, ngelamar PNS aja, supaya hidupmu terjamin.”
“Kamu nanti kuliah di (sambil menyebutkan salah satu  nama perguruan tinggi),  karena langsung ditempatkan dan gajinya besar, belum lagi ceperannya.”
“Ntar kalau kamu sudah jadi pegawai, usahakan dapat ‘tempat yang basah’, nak.”
“Bapa dan Ibu sudah siapkan uang untuk ‘nombok kalau kamu nanti cari sekolah/kerja’”

Masih ada beberapa ungkapan lainnya yang sejenis dan sudah lumrah terdengar dan jamak terjadi di masyarakat. Dan ini adalah apa yang disebut sebagai ‘nilai’ dan nilai-nilai merupakan pedoman seseorang dalam berfikir dan bertindak. Apa yang disampaikan orang tua kepada anak adalah proses pewarisan nilai. Terlepas apakah nilai itu benar-salah, baik-buruk, ketika diterima, diamini dan dilaksanakan oleh banyak orang atau mayoritas maka dia akan menjadi nilai bersama atau bisa juga disebut sebagai budaya. Nilai-nilai yang dianut kemudian menjadi landasan cara pandang maupun perilaku sehingga menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah. Yang tidak ikut nilai tersebut malah dianggap aneh.

Baca Juga :  Gladi Bersih Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan dan Sanggar Seni Kumara Agung Banjar Temacun, Desa Kuta

Mengacu kepada pewarisan nilai seperti diatas, maka orang tua cenderung mendidik anaknya untuk menjadi kaya (baca sukses secara materi), bukan bahagia. Bagaimana orang yang dikatagorikan bahagia,  tentu masih bisa diperdebatkan lagi, terutama ada sejumlah indikator dan bersifat relatif. Namun dalam hal ini saya hanya fokus pada satu hal, yakni seseorang dikatakan bahagia yakni ketika yang bersangkutan bisa menjalani prinsip bahwa segala materi yang dimiliki hanya sebagai alat, bukan tujuan. Contohnya adalah ketika seseorang memiliki sebuah mobil mahal keluaran terbaru, tetap bisa menjaga prinsipnya bahwa itu hanya sebagai alat saja. Sebab kalau menganggapnya sebagai tujuan maka, maka dia akan terobsesi; ketika pada titik tertentu dia bosan (karena tingkat kepuasan juga akan mengalami penurunan), dia akan terdorong untuk mengganti mobil tersebut dengan yang lebih baru dan begitu seterusnya. Ini juga berlaku untuk benda-benda duniawi lainnya. Sederhananya, selalu terobsesi untuk memiliki atau mengejar sesuatu yang lebih (lebih baru, lebih banyak) baik karena memenuhi keinginan atau karena mempertahankan gengsi, sehingga hidupnya akan berputar-putar di sana. Situasi ini menghendaki seseorang untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya dan terus menerus untuk mengejar yang diinginkan. Ibarat mengejar bayangan.  Kembali kepada kriteria bahagia tadi, maka ketika yang bersangkutan karena keadaan tertentu harus naik mobil ceketer, pasti dia akan merasa tidak nyaman dan mengeluh. Sehingga seringkali kita mendengar ungkapan di masyarakat seperti: “Padahal dia orang kaya dan hidupnya serba wah, kok masih saja mengeluh hidupnya tidak bahagia, ya.”

Karena berorientasi kaya, bukan bahagia, maka ada kecendrungan untuk terus mengejar keinginan. Ketika seseorang diliputi berbagai keinginan, maka jika ada kesempatan, tidak tertutup kemungkinan baginya untuk memperluas akses-akses kapital dengan cara-cara yang tidak benar, misalnya korupsi. Korupsi dalam hal ini saya definisikan sebagai tindakan mengambil hak-hak orang lain, bukan saja berupa materi, tapi juga kesempatan. Contoh yang menyangkut kesempatan misalnya, ketika seorang anak nilainya tidak memenuhi standar untuk masuk sekolah tertentu, ada orang tuanya memakai jalur belakang (uang, surat sakti, dsb). Ini berarti sudah merebut hak anak-anak lainnya yang lebih pantas.

Baca Juga :  Permudah Pelanggan Tambah Daya, PLN Hadirkan Paket Ramadan Peduli dan Ramadhan Berkah

Mengukur tingkat kebahagian terkait dengan kesuksesan sebenarnya sederhana saja. Tinggal menentukan standar sukses yang dikehendaki. Karena berdasarkan standar itulah orang bisa memaknai dan menjalani hidupnya. Misalnya salah seorang teman saya memiliki standar bahwa, dia sudah merasa bahagia ketika anak-anaknya sudah bisa kuliah. Jadi ketika dengan pendapatannya sudah bisa membiayai anaknya kuliah, maka dia sudah merasa bahagia (sukses), sehingga hari-harinya dia isi dengan melakukan pekerjaannya dengan rutin, mengisi waktunya dengan menekuni hobinya dan yang tidak kalah pentingnya bersosialisasi dengan dengan teman-temannya. Intinya seseorang tetap bisa berkembang tanpa terobsesi dengan kata ‘harus’.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa martabat seseorang atau kebahagian tidak bisa dinilai berdasarkan seberapa besar penghasilan, jenis kendaraan yang dipakai, atau seberapa banyak memiliki rumah. Karena begitu seseorang sudah bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, papan), maka korelasi kebahagian dan kesuksesan duniawi mendekati nol (Mark Manson). Bahayanya, jika penilaian terhadap kesuksesan material berlebihan, maka nilai-nilai kemanusian yang lain, seperti kejujuran, kasih sayang, anti-kekerasan, solidaritas, kerakyatan cenderung terabaikan. Sehingga untuk mencapai kesuksesan cenderung menghalalkan segala cara seperti banyak yang terjadi dalam kehidupan.

Adakah pewarisan nilai-nilai seperti diuraikan di awal berkorelasi dengan maraknya ‘budaya’ korupsi di Indonesia. Hal ini tentu perlu analisa lebih lanjut. Tetapi dalam hemat saya, nilai-nilai umum yang diuraikan di atas sepertinya mengarah ke sana.

Riwayat Penulis :

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’  ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Baca Juga :  Mengapa Sebagian Besar Manusia "Pamrih"

 

Related Posts