Pemerhati Meteorit Meyakini Dentuman Keras Di Buleleng Meteor Jatuh, Ini Ulasannya
Denpasar – kabarbalihits
Masih banyak yang meragukan Sonic Boom Buleleng berasal dari meteor terang (bolide), karena kurangnya bukti gambar atau video, walaupun beberapa warga di Buleleng mengaku melihat fenomena tersebut.
Hal tersebut diungkapkan oleh pemerhati meteorit I Gede Dalem Elang Erlangga, yang juga lulusan Teknik Geodesi & Geomatika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung angkatan 2014, lulus dengan studi terkait analisis Erupsi Gunung Agung.
Pria kelahiran 22 Oktober 1996 ini menilai dentuman akibat jatuhnya benda langit merupakan peristiwa umum yang bisa terjadi kapan dan dimana saja.
Menurutnya di Bali sendiri, melalui data yang dihimpunnya pernah terjadi pada tanggal 10 Desember 2019 lalu di Karangasem, yang jatuh di laut utara Kubu.
“Dulu tgl 1 januari 2008 juga pernah ada meteorit yg jatuh di Sukawati. Tapi karena medsos belum ramai, jadi kurang mendapat atensi publik” Ungkap Elang Erlangga, ketika dikonfirmasi di Denpasar, Senin (25/1).
Terkait dunia antariksa, Elang mempelajari banyak sumber terkait astrogeologi dan astronomi sejak SMA, juga sebagai kolektor meteorit sejak tahun 2011, saat masih kelas 10 di SMAN 3 Denpasar.
Dalam analisanya, suara dentuman itu secara umum penyebabnya sama yaitu, adanya gangguan pada partikel udara akibat ledakan (bom, meriam, petir, bahkan ban pecah) yang disebabkan terkompresinya udara secara tiba-tiba dengan kecepatan supersonik dan menghasilkan gelombang kejut.
“Singkatnya begini, saat meteoroid (objeknya) masuk ke dalam lapisan atmosfer bumi, kecepatannya yang sangat tinggi (rata-rata 15 km per detik), objek itu akan bergesekan hebat dengan partikel udara” Jelasnya.
Dilanjutkan, gesekan akan mengablasi (mengikis) objek tersebut, sampai tahap dimana integritas objek tidak kuat menahan tekanan dari partikel udara.
“Saat itu, biasanya di ketinggian 20-40 km di atas permukaan bumi, kekuatan partikel udara berhasil memecahkan objek tersebut dalam peristiwa ledakan. Terkadang ada beberapa serpihan kecil yang sampai ke permukaan bumi yang disebut meteorit” Katanya.
Pria yang merintis usaha bisnis dan investasi ini juga menyampaikan, saat meledak di atas menghasilkan suara dentuman tersebut. Karena suara dentuman itu merambat di udara, diperlukan waktu untuk sampai ke pendengar.
“Biasanya perlu 2-3 menit dari peristiwa penampakan jalur cahaya di langit. Jadi suara ledakan bukan karena menghantam permukaan bumi, melainkan ledakannya di atas udara” Ujarnya.
Disinggung mengenai dampak yang terjadi terhadap lingkungan, tidak adanya bahan berbahaya yang ditimbulkan dari jatuhnya meteorit, kecuali sampah antariksa buatan manusia bisa jadi berbahaya.
“Kalau meteorit seukuran yang kemarin di Buleleng jatuh ke permukiman warga, dampak kerusakannya minimal. Paling hanya atap bolong sebesar batu yang jatuh. Meteorit setelah meledak kecepatannya berkurang drastis. Jatuh pun hanya menyisakan terminal velocity”
Dijelaskan kembali terminal velocity merupakan kecepatan jatuh bebas. Dimana kecepatan meteorit sudah melambat akibat tahanan atmosfer. Diumpamakam seperti batu yang dijatuhkan dari atas tanpa ada dorongan kuat seperti sebelum meledak.
“Justru yang ada akan memakmurkan kehidupan warga. Karena batu meteorit itu memiliki nilai jual yang tinggi. Batu meteorit yang masih fresh sangat dihargai oleh sains dan kolektor” Terangnya.
Ia merujuk pada peristiwa meteorit Kolang yang jatuh di Tapanuli Sumatera Utara pada 1 Agustus 2020. Dikatakan pemilik rumah yang ditimpa meteorit seolah mendapat rejeki. “Saya sempat membeli serpihan batu meteorit Kolang itu untuk koleksi pribadi saya.” Ucapnya.
Ia pun memperkirakan ukuran meteor yang jatuh di Tapanuli dan di Buleleng. “Di Tapanuli kemarin seukuran buah kelapa, yang di Buleleng bisa dibilang tidak kecil juga tapi tidak sampai merusak. Mirip kejadian di Tapanuli kalau jatuh di darat” Jelasnya.
Ditambahkan, meteor ukuran besar jatuh di Chelyabinsk Rusia tahun 2013, dimana dentuman kerasnya melukai ratusan orang, dan ledakan suaranya juga memecahkan kaca dan pintu warga.
Pria yang tinggal di Batubulan Gianyar ini meyakini bahwa fenomena itu adalah bolide, bukan sampah antariksa. Menurutnya Sampah antariksa biasanya akan relatif terlihat lebih lambat jatuhnya dibandingkan dengan bolid/ meteor alami.
“Soalnya banyak orang kadang susah membedakan mana meteor dan mana sampah antariksa buatan manusia. Kemarin ada saksi yang bilang melihat sekelebat cahaya kurang lebih 2-3 detik. Indikasi bahwa itu meteor alami. Kalau sampah antariksa biasanya lebih lambat kecepatan jatuhnya.” Pungkasnya.
Ia berharap, jika ada warga yang mempunyai cctv yang tidak sengaja ke arah langit atas singaraja, agar ikut membantu memberikan hasilnya terhadap kejadian kemarin. “Penting untuk analisis parameter meteornya jatuh kemana, ketinggian berapa, kecepatan berapa, dan lain sebagainya” Imbuhnya.
Ia mengaku senang jika berdiskusi masalah meteorit, dari kejadian ini menjadi kesempatan langka untuk memberikan edukasi ke masyarakat luas. (kbh1)