November 25, 2024
Opini

Apakah Itu Narsisme???

“Dia itu orangnya narsis banget!” Itu adalah salah satu kalimat yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari terutama jika berkaitan dengan medsos.

Maksud saya, ketika ada seseorang yang berusaha tampil agak mencolok penampilannya dari yang dianggap pantas, atau gaya berfotonya berlebihan, padahal kehidupan kesehariannya terutama latar belakang social ekonominya biasa-biasa saja, maka akan terlontar kalimat seperti di atas. Nah, ternyata bukan di dunia medsos saja narsisme itu ada, tetapi pada bidang kehidupan lainnya.

Narsisme mengacu kepada sebuah keadaan dimana seseorang merasa berhak diperlakukan istimewa atas kehebatannya.

Seberapa narsistik seseorang memang yang paling gampang adalah jika dikaitkan dengan media sosial. Pasti respon emosi seseorang akan berbeda ketika postingannya banyak yang ‘like, demikian juga sebaliknya.

Ketika banyak yang ‘like’, Anda merasa berharga (superior, penting), tetapi sebaliknya kalau sedikit, maka ada perasaan tidak berharga (kurang penting, inferior, minder, mungkin juga kecewa). Ya, alamiah sekali.

Masing-masing individu dengan latar belakang profesi maupun sosial ekonomi yang berbeda terdorong untuk bertindak agar diperlakukan istimewa, penting, diperhatikan, dan layak dihargai karena merasa lebih (hebat dan heboh) dari yang lainnya. Dan itu misalnya bisa dilihat dari narasi-narasi yang dibangun lewat ‘caption’ unggahannya, terlepas dari apapun temanya.

Sebaliknya, tidak jarang ada orang yang ‘curhat’ (membuat status) tentang nasib buruknya atau ‘musibah’ yang dialaminya, apakah itu berupa peristiwa diputus oleh kekasihnya, sudah lama pacaran lalu tiba-tiba sang kekasih pergi menikah dengan orang lain, dihina atau dijelek-jelekan oleh orang lain,  dipecat dari tempat kerjanya atau apapun yang membuat mereka merasa dikasihani, teraniaya (inferior), sehingga merasa layak diperlakukan istimewa.

Pernah ada seseorang yang harus dikeluarkan dari sebuah organisasi yang kemudian mengadu kemana-mana seolah-olah dirinya disingkirkan secara tidak hormat.

Intinya apakah seseorang merasa ‘superior’ (hebat, isimewa) atau ‘inferior’ (sedih, kecewa, minder) dua-duanya tergolong narsistik, yang berbeda kadarnya saja. Dan setiap individu bisa bergeser dari superior ke inferior atau sebaliknya, tergantung situasi yang dihadapinya.

 

Baca Juga :  Pengusaha Marak Manfaatkan Air Bawah Tanah, Badung Gelar FGD Pengelolan Sumber Daya Air

 

Gejala narsistik juga mencakup sifat manipulatif  (‘memalsu’) di dalamnya, tentu dengan kadar yang berbeda-beda. Terkait postingan di medsos misalnya, seseorang bisa saja menyatakan dia ‘singgah’ atau berada di sebuah hotel berbintang misalnya, padahal dia cuma lewat di jalan tempat hotel itu berada.

Atau bisa saja menyatakan ‘singgah’ di suatu tempat yang wah, padahal dia sendiri ada di rumah. Atau kalaupun dia ada di sana, dia akan berusaha berfoto dengan gaya tertentu di depan hotel/atau tempat itu padahal dia cuma ingin ketemu temannya yang kebetulan bekerja di sana. Intinya seseorang ingin terlihat istimewa. Dan ‘kepalsuan’ sepertinya memang diperlukan sebagai sebuah pertahanan diri atau bumper terhadap diri yang sesungguhnya.

Dalam skala yang lebih luar, tindakan korupsi juga tergolong narsistik. Cuma memang kadarnya sudah tergolong ‘hiper-narsistik’ kalau boleh saya berikan label karena banyak merugikan pihak lain baik langsung maupun secara tidak langsung.

Begitu pula, gejala ‘hiper-narsistik sangat kuat terjadi pada sebuah institusi. Sebuah institusi akan  makin bobrok terutama jika individu-individu yang berada di dalamnya makin diperbesar kekuasaannya sehingga mereka terjebak dalam penyalahgunaan wewenang (abuse of power), apalagi jika pengawasannya lemah atau tanpa hambatan.

Mereka merasa istimewa terutama karena memegang jabatan sehingga merasa berhak untuk mendapat lebih disamping memang karena dorongan-dorongan konsumtif. Selama belum ketahuan atau ketangkap, mereka akan santai-santai saja dan tidak merasa bersalah seperti tidak terjadi apa apa.

Tetapi begitu mereka tertangkap, mereka seolah-olah adalah korban, tidak mau mengakui kesalahan dan cenderung menyalahkan orang lain (saling lempar). Dengan demikian terjadi pergeseran dari sesuatu yang bersifat superior lalu bergeser  ke inferior. Dan belakangan ini kita sering disuguhi lakon-lakon seperti itu.

Mengutip pendapatnya Mark Manson, biang kerok dari narsisme ini sebenarnya adalah karena setiap individu merasa lebih hebat, lebih baik, lebih tulus, lebih ahli dan sebagainya dari yang lainnya. Apa yang kita fikir baik menurut kita, baik juga untuk orang lain, padahal belum tentu.

Sehingga ketika kita melakukan kesalahan kita berusaha menutup-nutupinya sehingga kita tampak tak berdosa. Tetapi ketika orang lain yang melakukan kesalahan maka  kita akan langsung menilai karakter orang bersangkutan.

Terkait hal ini maka ‘Mencari kambing hitam’ adalah gejala narsistik yang umum sekali, terutama pada tingkat yang tergolong gawat, atau apa yang dikatakan Mark Manson sebagai ‘narsistik kadar rendah’. Misalnya saja kasus-kasus yang berkaitan dengan tindakan abuse of power (penyalahgunaan wewenang), seperti digambarkan di atas.

Narsisme memang erat kaitannya dengan emosi dan dia ibarat ‘bumbu’ dalam hidup. Rasa percaya diri maupun sebaliknya (minder) sangat penting untuk tetap memelihara harapan maupun merasakan emosi diri sendiri. Sebab kalau tidak, hidup akan sebegitu-sebegitu saja tanpa warna. Cuma, memang terombang-ambingnya kita dalam rentang garis superior – inferior sebagai akibat dari perilaku narsistik, sekaligus juga merupakan sumber penderitaan dalam diri.

Sederhananya, postingan banyak yang nge-like kita menjadi senang, dan begitu juga sebaliknya, tentu dengan kadar emosi yang berbeda-beda

Dengan demikian tiap orang punya potensi narsis, ya termasuk saya sendiri tentunya. Dan sifat narsis ini tidak bisa dihilangkan karena memang melekat dalam diri.

Cuma yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya, kadarnya saja. Saran saya, usahakan jangan sampai mengidap apa yang disebut ‘narsistik kadar rendah’ tadi.

 

Riwayat penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts