
Aktivis Anak Kawal Kasus Bayi Hilang Pindah Tangan
Denpasar – kabarbalihits
Peristiwa pilu terjadi pada seorang perempuan muda inisial RR (24). Diceritakan bahwa pacar RR tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya diluar nikah, hingga kejadian kehilangan bayi yang baru dilahirkannya.
Dengan air mata yang terus mengalir, RR berharap bayi dikandungnya yang diambil seseorang agar segera dikembalikan. Wanita asal Serang Jawa Barat ini telah melaporkan kasus tersebut ke Ditreskrimum Polda Bali dengan terlapor IML, selaku orang yang mengambil bayinya.
“Saya ingin anak saya kembali, saya ingin ketemu dengan anak, pengen ngasi apa yang seharusnya saya berikan kepada anak saya. Saya ingin memberikan ASI kepada anak saya, ingin memeluk anak saya. Ingin merawat anak saya sebaik mungkin” Ucapnya ketika didampingi kuasa hukumnya Siti Sapurah, pada Selasa (17/11) di Denpasar.
https://youtu.be/uA34kGyNivc
Kasus ini menjadi perhatian serius bagi aktivis anak, Siti Sapurah alias Ipung yang juga seorang praktisi hukum. Ipung menceritakan, pada kondisi kebingungan masalah biaya persalinan, RR bertemu dan dengan sopir taksi online berinisial ES (40). Hingga akhirnya, ia menceritakan kondisi yang dialaminya pada ES.
Kemudian ES mengantar RR ke rumah bidan bersalin di daerah Nusa Dua, Kuta Selatan-Badung, yang juga menjanjikan akan membantu mencarikan biaya persalinan.
Di rumah bersalin tersebut, RR akhirnya melahirkan bayi laki-laki dengan berat 2.200 gram pada tanggal 31 Agustus 2020. setelah melahirkan, tiba-tiba RR disodori surat pernyataan agar bayinya diserahkan kepada seseorang berinisial IML beralamat tinggal di Taman Griya, Nusa Dua.
“Sejak saat itu RR tidak pernah sempat menyusui anaknya karena sudah dilarang oleh bidan dan langsung dipisahkan. Bahkan dalam surat kenal lahir si bayi tidak mencantumkan nama ibu kandungnya (RR) tetapi yang dicantumkan nama istrinya IML, dan nama bapaknya IML sendiri,” Ucap Ipung saat mendampingi korban.
Berjalan dua bulan, wanita malang ini tidak pernah diizinkan bertemu, bahkan menyusui bayinya. Kemudian RR melaporkan kasus ini ke Polda Bali pada 7 Oktober 2020 dan diterima tanggal 12 Oktober 2020 dengan nomor Dumas/407/X/2020/Ditreskrimum.
“Tindakan polisi atas dumas tersebut adalah pada hari Senin tanggal 2 November 2020, RR dengan sopir ojek online dan IML (teradu) dipanggil untuk mediasi” Katanya.
Ipung menilai adanya keanehan, pada saat mediasi RR merasa ditekan oleh penyidik agar menyerahkan anaknya kepada IML, dengan alasan bahwa IML sudah sangat baik dan RR sudah menandatangani surat pernyataan di atas materai.
Menurutnya, ancaman pidana untuk IML, ES adalah terkait kasus tersebut yang semestinya bisa dikembangkan oleh penyidik yang mempunyai ancaman pidana yang sangat tinggi.
“Harusnya polisi mengambil anak itu dan mengembalikan kepada ibunya. Hal ini mengacu pada Undang-undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 128 di mana dalam pasal tersebut anak berumur 0 sampai 6 bulan berhak mendapatkan ASI dari ibunya dan barang siapa yang menghalangi diancam pidana 1 tahun penjara dan denda Rp100 juta” Jelasnya.
Ditambahkan, kasus ini juga melanggar tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“ini juga dikuatkan dengan Peraturan Kementerian PPPA nomor 3 tahun 2010, kasus di atas juga melanggar Pasal 330 KUHP ancaman pidananya 9 tahun merebut anak dari orang yang mempunyai hak atas dirinya. Kasus di atas juga melanggar Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan ancaman pidananya sampai 15 tahun, sekaligus kasus di atas juga melanggar Undang-undang nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ada di dalam Pasal 76 ancaman pidananya 7 tahun” Bebernya.
Ipung mengingatkan bahwa anak bukanlah barang yang bisa diperjualbelikan. Anak manusia bukanlah anak binatang yang bisa dipindah tangankan begitu saja atas kemauan orang dewasa.
Anak adalah manusia yang dilindungi Undang-undang oleh negara dan dia mempunyai hak konstitusi sejak dia berada di dalam kandungan sampai dia berumur 18 tahun.
“Kita punya pelajaran berharga di Bali pada saat kasus Engeline, di mana dia harus meninggal di tangan ibu angkatnya. Kasus terbaru di Ambon seorang anak angkat yang harus meregang nyawa di tangan orangtua angkatnya karena setiap hari mengalami kekerasan fisik, dan beberapa kasus anak angkat yang tidak sedikit harus meninggal di tangan orangtua angkatnya karena lepas dari pengawasan instansi terkait karena mereka diangkat, diadopsi secara illegal serta tidak sesuai prosedur hukum,” Tegasnya.
Disampaikan kembali, seharusnya penyidik polisi yang menangani kasus ini, juga memeriksa bidan yang membantu persalinan RR, karena di sana ada pemalsuan dokumen dan memasukkan keterangan palsu dalam dokumen tersebut (surat kenal lahir si bayi).
Dinilai perbuatan pelaku diduga melanggar 263 KUHP dengan ancaman pidana 6 tahun atau Pasal 264 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. (kbh1)