November 25, 2024
Seni Budaya

“Kontemplasi Masa Depan” Pergelaran Kolaboratif Seniman Lintas Disiplin

Gianyar-kabarbalihits

Empat orang seniman lintas disiplin yakni Arahmaiani, Made Sidia, I Gede Made Surya Darma, dan I K. Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur) menampilkan performance art kolaborasi berjudul “Kontemplasi Masa Depan” di ARMA Museum, Ubud, Minggu, 11 Agustus 2024. Penampilan itu disajikan serangkaian Mega Festival Indonesia Bertutur 2024.

Indonesia Bertutur diadakan di Bali selama 12 hari, yakni pada 7-18 Agustus 2024. Penyelenggaraan tahun 2024  mengetengahkan tema “Subak: Harmoni dengan Pencipta, Alam, dan Sesama.”

Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2024, Melati Suryodarmo, mengatakan pihaknya mengadaptasi filosofi hidup orang Bali, yakni Tri Hita Karana dalam penyelenggaraan festival. Menurutnya, budaya bukan hanya sekedar seni. “Budaya adalah tentang daya hidup masyarakat, tentang kehidupan bersama, untuk mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Budaya bertahan dari waktu ke waktu, dan perlu dipelihara dan lebih banyak perhatian,” kata dia.

Melati menerangkan, salah satu tujuan penyelenggaraan Indonesia Bertutur adalah untuk membawa generasi muda lebih dekat dengan dengan sejarah, budaya, dan culture heritage menjadi kreasi baru.

Ia mengatakan ada sembilan program utama di dalam Indonesia Bertutur 2024,yang digelar di Ubud, Batubulan, dan Nusa Dua. Di Ubud, ada lima tempat yang dipilih, yakni Neka Art Museum, Museum Puri Lukisan, ARMA Museum & Resort, Setia Darma House ofMask and Puppets, serta Tonyraka Art Loungge. “Di ubud kami menampilkan seni dalam bentuk objek instalasi, performance art, experimental potography,” jelasnya.

Adapun performance art yang diselenggarakan di Panggung Terbuka ARMA Museum pada 11 Agustus 2024 merupakan garapan seniman ternama Indonesia, yakni Arahmaiani. Pada garapan kolaborasi itu, ia mengajak tiga orang seniman Bali, yakni

 Made Sidia, I Gede Made Surya Darma, dan I K. Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur). Sidia adalah seniman pertunjukkan dan dalang, Surya Darma adalah perupa yang juga art performance, sedangkan Eriadi Ariana adalah sastrawan yang juga penulis yang konsen pada lingkungan.

“Pertunjukan yang kami tampilkan adalah tentang kontemplasi, bagaimana kita harus sadar tentang situasi nyata yang kita hadapi sekarang. Ada banyak masalah yang harus kita hadapi, jika tidak, kehidupan dan alam akan berada dalam kehancuran. Dengan ide ini, saya ingin mengekspresikannya melalui seni saya, untuk membuat orang sadar tentang masalah ini. Berbagi pengalaman dan rasa bagaimana membangun masa depan,” kata Arahmaiani.

Pada pertunjukkannya, Arahmaiani menggunakan pakaian serba merah sebagai representasi energi kosmis Dewa Brahma. Ia yang merupakan perempuan satu-satunya dalam pementasan mengambil peran sebagai kreator layaknya Dewa Brahma. Ia membawa alat musik khusus dari Tibet serta melakukan tarian khas dan melukis bersama yang lainnya di atas kanvas.

Made Sidia menerangkan mereka mengambil konsep Pengider Bhuana di dalam pertunjukannya, di mana ada empat dewa yang merepresentasikan empat karakter, empat spiritual, dan empat penjaga arah mata angin. “Empat arah mata angin ini sarat dengan perbedaan warna, sifat dan tabiat. Dimana arah Utara dijaga oleh Dewa Wisnu yang disimbolkan dengan warna hitam, Timur dijaga oleh Dewa Iswara yang disimbolkan dengan warna putih, Selatan dijaga oleh Dewa Brahma yang disimbolkan dengan warna merah, serta Barat dijaga oleh Dewa Mahadewa yang disimbolkan dengan warna kuning. Keempatnya melambangkan makrokosmos,” katanya.

Sidia menambahkan bahwa empat penjuru mata angin ini juga berkaitan dengan Catur Sanak (Anggapati, Mrajapati Banaspati, Banaspati Raja) yang mewakili alam mikrokosmos.

“Keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos ini memunculkan percikan berwarna warni, corak, karakter. Kita dapat menyaksikan semua ini dalam pertunjukan yang dipenuhi dengan teriakan, melantunkan tembang. Tembang dan teriakan ini menggambarkan bagaimana semesta menciptakan manusia lewat semesta dan lingkungan,” katanya.

Di pertunjukannya, Made Sidia menggunakan Kayonan (wayang), yang merupakan simbol bumi. Di tengah kayonan terdapat adalah Siwa. Siwa adalah Mahadewa dan Maha guru. “Siwa adalah kekuatan yang maha dahsyat yang menyelamatkan dunia. Disebut Sang Hyang Nilakanta karena beliau meminum racun. Yang akhirnya melambangkan kondisi Rwa Binedha, hitam putih, positif negatif. Racun dan Berkah. Beraneka ragam, bercampur menjadi satu persatuan. Beliau juga melantunkan tembang asal mula dunia tercipta. “Intinya tutur itu adalah keseimbangan,” tutupnya.

Jika Made Sidia menggunakan Kayonan, I Gede Made Surya Darma menggunakan sirih dan kapur, serta memercikkan air sebagai media pertunjukannya. “Saya menggunakan benda-benda ini untuk merepresentasikan budaya nginang, yaitu mengunyah daun sirih, lengkap dengan pamor, gambir, dan daun tembakau. Biasanya para tetua jaman dulu melakukan kegiatan nginang sebagai pembuka rapat, tujuannya adalah untuk membersihkan mulut sehingga ucapan yang keluar adalah ucapan yang bersih dan baik. Jika dalam bahasa bali, daun sirih disebut base, atau basuh yang artinya membersihkan. Memang daun sirih digunakan untuk membersihkan, tidak hanya membersihkan perkataan, tetapi juga membersihkan tubuh dari berbagai penyakit,” kata Surya Darma.

sementara itu, Eriadi Ariana yang berpesan sebagai penguasa arah timur. Timur diidentikkan dengan kemurnian, spiritualitas, dan literasi. Oleh karena itulah ia menggunakan lontar, pengrupak, dan bajra sebagai media pertunjukkan. Suara genta melambangkan kemurnian, sementara lontar dan pangrupak adalah lambang aksara dan kesusastraan. Selain itu juga ada media tempayan yang berisi air.

Baca Juga :  Janger Sabha Yowana Giri Usadi Petang Memukau Penonton di PKB XLVI

“Sastra itu ibarat air di dalam tempayan yang dapat digunakan untuk bercermin. Ketika air keruh, maka diri sendiri pun tidak akan dikenali. Saya juga bermain rambut sebagai simbol kontemplasi di dalam diri, mulai dari kepala yang diikat udeng sebagai tanda pembelajaran, digerai sebagai tanda dialog di dalam diri, serta terakhir adalah diprucut selayaknya pendeta sebagai simbol kesadaran penuh yang didapat melalui pendalaman sastra,” jelasnya.(r)

Related Posts