October 26, 2024
Pendidikan

Menjamurnya Pembangunan Pasar Tradisional dengan Fasilitas Modern di Bali, Efektifkah?

Pasar Tradisional-Modern dan Program Revitalisasi Pasar di Bali

Pasar Tradisional yang dikemas dengan infrastruktur modern semakin menjamur di Bali.  Masing-masing daerah berlomba-lomba membangun ‘citra’ mereka melalui proyek revitalisasi ruang pasar yang dicanangkan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia sejak tahun 2011 ini. Pada mulanya, program Revitalisasi Pasar berusaha untuk menyelesaikan persoalan manajemen pasar, pengelolaan perdagangan, dan pengaturan zonasi Pasar tradisional agar tampil lebih bersih dan higienis. Program ini juga berujung pada renovasi bangunan dan seluruh prasarananya, untuk mengurangi citra kumuh, sehingga pasar tradisional mampu bersaing dengan pasar modern dan mampu memperkokoh eksistensinya sebagai basis perekonomian rakyat.

Dalam tulisan ini, terminologi tipe bangunan Pasar Tradisional yang dikemas dalam bentuk bangunan pasar modern disebut sebagai Pasar Tradisional-Modern. Pasar ini memiliki sistem bangunan modern selayaknya supermarket. Infrastruktur modern dengan penggunaan eskalator, ataupun elevator untuk mencapai tiap lantai pada bangunan. Penggunaan material bangunan yang modern dan dibangun dengan bentuk yang masif,  sehingga kesan bangunan yang dihasilkan lebih modern, bersih, dan cenderung mewah untuk bangunan publik sekelas pasar tradisional.

Kemunculan Trend Pasar Tradisional-Modern di Bali

Kemunculan trend Pasar Tradisional yang dikemas dengan infrastruktur modern ini bermula dari Pembangunan Pasar Badung yang menjadi pilot project program revitalisasi pasar tradisional di Bali. Revitalisasi Pasar Badung yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat berhasil meraup atensi publik. Ketika peresmiannya pada tahun 2019, Pasar Badung mendapat sambutan serta antusiasme yang positif dari masyarakat, khususnya dari segi kemewahan fasilitasnya dan arsitektur bangunan yang berbeda dari pasar tradisional pada umumnya, notabene menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Kemewahan ini didukung dengan penggunaan fasilitas penunjang yang bertujuan untuk  memberikan kenyamanan bagi penggunanya, seperti adanya eskalator, lift bagi pengunjung maupun barang, ketersediaan wi-fi, dan fasilitas modern lainnya.

Dilansir pada laman setkab.go.id., pada tanggal 22 maret 2019, Pasar Badung digadang-gadang sebagai pasar dengan arsitektur paling bagus yang pernah ada di Indonesia oleh Presiden. Akuisisi dari orang nomor 1 di Indonesia ini cukup memberikan pengaruh terhadap kunjungan ke Pasar Badung yang baru, dengan motif kunjungan untuk berbelanja, maupun hanya sekedar melihat-lihat dan menikmati suasana pasar rakyat yang baru dengan fasilitas modern di dalamnya. Melihat antusiasme itu, pemerintah daerah di Bali berlomba-lomba merenovasi pasar tradisional, yang menjadi ikon kabupaten setempat, dalam skala besar sehingga menghasilkan bangunan pasar rakyat megah dan modern dengan harapan juga dapat menjadi alternatif destinasi wisata di masing-masing daerah.

Setelah peresmian Pasar Badung tahun 2019 silam, disusul dengan revitalisasi dan peresmian Pasar Tradisional-Modern lainnya di beberapa daerah di Bali. Pada Bulan Maret tahun 2021, Pasar Banyuasri diresmikan dan menjadi pasar terbesar di Bali mengalahkan posisi Pasar Badung pada waktu itu. Disusul kemudian dengan peresmian Pasar Gianyar di Bulan Desember tahun 2021, yang kini menjadi pasar termegah di Bali, bahkan di Indonesia. Tidak hanya pasar tradisional yang menjual kebutuhan sehari-hari, pasar seni yang menjadi salah satu ujung tombak pariwisata Bali pun juga tidak luput dari revitalisasi menjadi pasar tradisional-modern, terlebih intensinya yang memang bertujuan untuk menarik wisatawan untuk datang dan berbelanja ke pasar tradisional di Bali. Pada tahun 2023, tiga pasar seni yang baru juga diresmikan, diantaranya Pasar Seni Sukawati, Pasar Seni Ubud, dan Pasar Tematik Klungkung. Hingga kini, proses pembangunan revitalisasi ruang pasar tradisional terus berlanjut. Fenomena keberadaan Pasar Tradisional-Modern di Bali ini pun kian menjamur seiring berjalannya waktu.

Baca Juga :  Garap Peluang Ekonomi, Gus Adhi Komit Bantu "SBB" Komunitas Fans Bali United Jadi Pengusaha Kopi

Pasar Tradisional-Modern, Kebutuhan Masyarakat atau Legacy Pemerintahan?

Melalui Program Revitalisasi Pasar Rakyat oleh Kementerian Perdagangan RI, pasar tradisional yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat kecil, kini bertransformasi menjadi Pasar Tradisional-Modern, yang secara fisik sudah hampir menyaingi supermarket, hypermarket, ataupun bentuk pasar modern lainnya. Adanya pandangan bahwa bangunan akan membentuk psikologis dan mengubah perilaku penggunanya, khususnya perilaku pedagang yang terbiasa berada di lingkungan kumuh pasar yang lama. Dengan kondisi bangunan yang berbeda, harapannya pedagang dapat mengemban budaya bersih sehingga pengunjung yang datang ke Pasar Tradisional-Modern tersebut juga merasakan kenyamanan dalam berbelanja.

Pandangan seperti ini lumrah terjadi di ranah perancangan arsitektur. Hal yang sama Lukito (2018), dalam bukunya yang berjudul Revitalisasi Pasar Tradisional melalui Pendekatan Desain, pernah menyebutkan bahwa manusia adalah faktor utama dalam pembentukan arsitektur, namun perilaku manusia juga dipengaruhi oleh bentukan arsitektur, sehingga terdapat interaksi timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Salah satu interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam menanggapi kondisi lingkungannya ini adalah perilaku autoplastis, yaitu perilaku adaptasi manusia terhadap lingkungannya dengan mengubah diri agar sesuai dengan lingkungannya. Perilaku Autoplastis ini yang diharapkan oleh perencana terjadi pada pengguna dalam menanggapi lingkungan pasar yang dirancangnya.

Perencana Pasar, Perancang dan Pengelola pasar, pun menyadari tantangan yang muncul dalam proses operasional bangunannya. Desainnya membutuhkan waktu yang panjang untuk mengubah perilaku pedagang untuk membiasakan budaya bersih tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, mereka memang mengakalinya dengan mendesain bangunan berkonsep easy clean and hygiene yang tercermin dalam penggunaan material bangunan yang mudah dibersihkan. Mengingat target market dari bangunan ini adalah konsumen. Konsep ini selaras dengan visi misi yang diturunkan oleh Kementerian Perdagangan RI untuk menarik kunjungan dan minat konsumen pada pasar tradisional sehingga pasar tradisional dapat bersaing dengan pasar modern lainnya.

Baca Juga :  Prof. Wisnumurti : Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada Menjadi Pendidikan Politik Kurang Baik

Perencana ruang memang berusaha untuk mengubah citra Pasar Tradisional yang semula kumuh menjadi bersih, higienis dan memiliki daya tarik visual supaya tidak kalah saing dengan pasar modern. Akan tetapi penandaan lingkungan yang dilakukan oleh Perancang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh pengguna ataupun pengamat di luar pengguna. Ini dibuktikan dengan munculnya kritik-kritik mengenai bentuk, tampilan, dan ekspresi rancangan dari beberapa pemerhati pasar. Beberapa artikel atau tulisan yang memuat kritik, salah satunya mengenai hasil desain pasar tradisional yang tidak “merakyat” (Agung, dalam Radar Bali, 2023) atau tidak mencerminkan kelokalan setempat. Padahal hasil revitalisasi pasar ini harapannya bisa menjadi ikon kota atau daerah setempat. Banyak yang beranggapan bahwa revitalisasi pasar ini dijadikan momen bagi para pemimpin daerah untuk meninggalkan warisan atau legacy pemerintahannya.

Pada penerapannya, kebijakan Revitalisasi Pasar Rakyat ini rupanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada aspek keruangan bagi Pasar Tradisional yang direvitalisasi. Kualitas ruang pasar tradisional ini lebih tertata rapi, bersih, dan nyaman untuk dikunjungi oleh pembeli. Untuk pemenuhan fungsi tambahan sebagai alternatif destinasi wisata, bangunan pasar rakyat dirancang dengan mengutamakan faktor estetika dan kemewahan fasilitas sebagai daya tariknya. Perancang terlalu berfokus pada pemenuhan aktivitas wisata sebagai fungsi tambahan, hingga lupa akan keberadaan aktivitas utama dari pengguna lama di pasar rakyat tersebut. Sebab, pada saat bangunan gedung pasar yang baru ini dioperasikan, rupanya pengguna tidak mematuhi ‘aturan main’ ruang yang dibuat oleh perencana.

Banyak fasilitas di Pasar Tradisional-modern yang tidak digunakan sebagaimana mestinya, akan tetapi muncul fungsi baru secara informal di tempat yang tidak semestinya. Area parkir yang seharusnya menjadi ruang untuk memarkirkan kendaraan bagi pengunjung, kini berjejer lapak-lapak pedagang kecil di setiap sisi areanya. Pedagang-pedagang banyak yang tumpah keluar gedung pasar untuk bisa menarik kunjungan atau mempermudah langganannya untuk menemukan lapak mereka. Ruang yang sudah tertata rapi berubah oleh penggunaan ruang yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh perancang. Hal ini menyebabkan muncul ruang-ruang aktivitas baru yang dibentuk oleh pola perilaku penggunanya sendiri.  Kemunculan ruang-ruang aktivitas baru di luar bangunan, mengakibatkan beberapa ruang – ruang di dalam bangunan pasar sepi peminat dan kunjungan.

Banyak ruang-ruang tersebut menjadi tidak aktif atau bersifat pasif tanpa adanya aktivitas yang berlangsung, bahkan beberapa ruang yang ada dalam bangunan megah tersebut sepi, kosong, dan terkesan ditinggalkan oleh penghuninya. Situasi seperti ini, disebut sebagai “exclusion” (Habermas 1989), atau ruang yang ‘dibuang’. Ironisnya, ruang-ruang buangan ini sangat rentan terhadap perilaku negatif yang cenderung mengganggu ketertiban umum, seperti vandalisme, buang sampah sembarangan, buang air kecil sembarangan, dan kenakalan-kenakalan lainnya yang tentunya merugikan fasilitas dan kenyamanan pengunjung lainnya.

Baca Juga :  Diskop UKM Provinsi Bali Laksanakan Kick Off BEC 2024, Dukung Akselerasi Tenant Inkubasi Tumbuh Menjadi Lebih Besar

Dampak lainnya, bentuk bangunan pasar tradisional yang cenderung tertutup menyerupai pasar modern ini mulai menimbulkan efek samping terkait kenyamanan bau. Pada area lot basah di Pasar Banyuasri Singaraja sudah mulai tercium aroma daging yang cukup mengganggu kenyamanan pengguna. Sebab, kondisi ruang dibuat tertutup, dan sirkulasi udara hanya mengandalkan sistem penghawaan buatan, layaknya pasar modern. Sedangkan kebiasaan pedagang di Pasar Tradisional tidak semua memiliki cara kerja yang sama dengan karyawan booth di pasar modern pada umumnya. Belum lagi fasilitas lift dan eskalator banyak yang mengalami kerusakan ataupun sengaja dimatikan untuk menghemat biaya operasional bangunan karena sepinya pengunjung.

Kasus ini tidak hanya di Bali, jauh sebelum Pasar Badung diresmikan, Beberapa artikel pemberitaan  sudah pernah melaporkan polemik dan dampak yang terjadi akibat program revitalisasi ruang pasar tradisional ini. Pada tahun 2014 lalu, Koran Tempo melaporkan bahwasanya, para pedagang yang berjualan di bangunan pasar yang direvitalisasi tersebut, kerap kali mengeluhkan sepinya kunjungan. Mulai dari Pasar Cikini Gold Center dan  Pasar Gondangdia di Jakarta Pusat, hingga Pasar Pos Pengumben Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Para pedagang menyayangkan kondisi ini, padahal pasar yang telah dibangun kembali tersebut sudah dilengkapi dengan pendingin udara, lift, dan elevator. Bahkan beberapa pasar ada yang sudah difasilitasi Pujasera yang luas dan bersih. Namun tetap tidak menarik kunjungan seperti yang diharapkan oleh pemerintah, pengelola dan pedagang. Lalu apa? Masih efektifkah revitalisasi ruang pasar tradisional dengan bangunan yang dibuat berlantai dengan infrastruktur mewah?

Program Revitalisasi Pasar yang menghasilkan Pasar Tradisional-Modern di Bali ini rupanya menimbulkan masalah baru. Ruang yang tercipta lebih merepresentasikan keinginan pemerintah dan bukan memenuhi kebutuhan pedagang dan pembeli.  Pemerintah sebaiknya melakukan kajian kembali terhadap dampak yang ditimbulkan dari kebijakan program revitalisasi bangunan pasar ini. Jadi, bangunan tidak hanya dirancang dengan daya tampung besar atau dibangun dengan megah, tetapi perlu dikaji kembali apakah masyarakat pengguna pasar tradisional benar-benar membutuhkan desain fisik bangunan yang demikian, atau barangkali bukan tipologi bangunan pasar berlantai yang seperti itu yang dibutuhkan oleh masyarakat sesungguhnya. Sebab, apabila ini terus berlanjut, akan muncul dampak kemubaziran ruang, alokasi budget pembangunan yang tidak efektif, serta kerugian biaya operasional atau perawatan bangunan yang sebenarnya biayanya bisa dialokasikan ke permasalahan lain yang seharusnya lebih diprioritaskan.

Related Posts