October 14, 2024
Daerah Lifestyle

Siti Sapurah Luncurkan Buku True Story, Ungkap Kisah Tragis Hingga Sukses Jadi Advokat 

Denpasar-kabarbalihits 

Siapa yang tidak mengenal aktivis perempuan dan anak, sekaligus pengacara kondang di Bali yang menguak kasus besar pembunuhan Engeline Megawe tahun 2015 silam. Perempuan yang kerap mengungkap fakta ketidakadilan di publik bernama Siti Sapurah alias Ipung ini meluncurkan buku menceritakan kisah hidupnya dalam pencarian jati diri.

Siapa sangka Ipung yang kini sukses malang melintang di dunia advokat dan aktivis perlindungan perempuan dan anak, justru masa kecilnya penuh menghadapi rintangan.

Banyak kisah diulas di dalam buku setebal 186 halaman ini, terutama tentang kehidupan pribadinya untuk memotivasi khususnya pada kaum perempuan agar sukses dalam hidup.

“Niat saya untuk membuat buku ini sudah sangat lama, jauh sebelum menangani kasus Engeline, saya sudah punya keinginan untuk membuat buku tentang saya, yang seorang anak nelayan tinggal di pesisir pantai,” ucapnya kepada awak media saat launching buku di kantornya Jalan Pulau Buton No.14 Denpasar, (29/3/2022).

Perempuan alumnus Fakultas Hukum Universitas Warmadewa ini mengungkapkan jika nama aslinya adalah Daeng Ipung, anak dari Daeng Abdul Kadir (almarhum). 

Advokat dan mediator ini mengungkapkan, dibuatnya buku true story bertujuan mencari identitas tentang dirinya, memberi pesan kepada keluarga besar Daeng Abdul Kadir, Daeng Syaban dan Daeng Sappar bahwa di Denpasar, Bali ada keturunan mereka yang masih hidup sampai sekarang.

“Saya membuat buku ini bukan karena aktivis atau pengacara, bukan, namun saya hanya ingin mencari identitas diri, memberi pesan kepada keluarga besar Daeng Abdul Kadir bahwa di Denpasar ada keturunan yang masih hidup, Daeng Ipung,” ungkapnya.

Sejak ayahnya meninggal, Daeng Ipung mengatakan jika kehidupannya berubah drastis dari putri seorang pengusaha sukses di Serangan, Denpasar, menjadi anak sebatang kara.

Di usia 4 tahun, ia sudah banting tulang menangkap nener (anak ikan bandeng) dan keong yang ada di pantai. Hal itu dilakukan tiga kali dalam sehari mulai dari jam setengah 5 subuh, sore hari dan terkadang sampai dini hari.

“Perjalanan hidup dari kecil setelah bapak saya meninggal dunia, hidup saya terpuruk, berubah 180 derajat,” ujarnya.

Bahkan dulunya saat pergi ke sekolah menuju SMP Negeri 6 Pegok, yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari Desa Serangan dia harus berjuang menyeberang menyusuri laut-laut dangkal dengan menenteng seragam dan buku ke dalam tas plastik lalu diikatkannya di leher agar tidak basah terkena air.

“Saya sangat niat belajar, dulu tidak ada jalan, Serangan dulu masih Kabupaten Badung, kalau tidak ada jukung saya masukkan baju, rok, buku ke tas kresek saya gantung di leher saya berenang sampai ke mangrove, lalu jalan kaki ke tambak cuci kaki dan tangandi tempat Nenek Patuh pembuat garam lalu sampai Suwung jalan ke SMPN 6 Pegok Denpasar,” bebernya.

Tidak hanya itu, Daeng Ipung kecil juga mengurus pekerjaan rumah seperti mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian, menyapu rumah dan lainnya.

“Setiap saat harus siap dihardik atau dipukul ketika tanpa sengaja ada gelas atau piring meluncur jatuh dari tangan saya,” tuturnya.

Peristiwa lainnya yang cukup tragis ia alami ketika usia 22 tahun. 

Di mana saat itu ia hanya mengenakan pakaian tidur, mendadak ditarik dari kamar oleh orang-orang yang selama ini dianggapnya keluarga.

“Dengan tega mereka lalu menginjak-injak saya mulai dari kepala hingga kaki. Jangan ditanya rasa sakit dan luka hati yang saya alami. Setelah puas menginjak-injak, saya dilempar begitu saja di depan rumah,” bebernya.

Seminggu setelah dianiaya, Daeng Ipung sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya, ia nekat menenggak cairan pembasmi serangga.

Ipung sempat tidak sadarkan diri dan mengaku mati suri selama 4 hari dalam perawatan di RSUP Sanglah Denpasar.

Daeng Ipung tak berhenti menyalahkan Tuhan, lantaran ingin mengakhiri hidup namun masih diberi nafas. 

Pada saat sadar usai mati suri, ia terngiang petuah almarhum ayahnya.

“Jadilah orang kuat, berani, berani, selama kamu benar dan jujur,” ungkapnya.

Di titik inilah, Daeng Ipung sadar ada maksud dari Tuhan kenapa selalu menjaga agar nafasnya tak terlepas dari raganya.

Perlahan Daeng Ipung bangkit, petuah dari almarhum Daeng Abdul Kadir kemudian ia jadikan pegangan hidup hingga saat ini.

“Petuah Bapak, orang yang sungguh mencintai saya dengan segenap rasa yang dimilikinya. Petuah Bapak akhirnya menjadi cemeti supaya tetap bertahan,” ujarnya.

Baca Juga :  Walikota Rai Mantra Suport Lomba Layangan Virtual

Disampaikan juga, sejak kecil Daeng Ipung sudah bercita-cita menjadi pengacara saat kelas 3 sekolah dasar, saat itu dia menonton sebuah tayangan televisi TVRI mengidolakan seorang perempuan Mutiara Sani, yang membela korban perundungan dari laki-laki bejat dan berargumen dengan cerdasnya di sebuah ruang sidang membela orang tertindas, teraniaya dan termarjinalkan, hal itulah yang menjadi tonggak cita-cita membuat Ipung kemudian termotivasi menjadi pengacara.

“Pesan saya jangan pernah berpikir tidak bisa, karena kekuatan Tuhan lah yang menopang kita, itu yang benar-benar terjadi dalam diri saya,” imbuhnya. (kbh1) 

Related Posts