Eksploitasi
Opini-kabarbalihits
Banyak yang menghadapi dilema ketika melihat pengemis di perempatan lampu merah atau pengemis yang datang ke rumah-rumah, yakni antara memberikan sekedarnya atau tidak memberikan sama sekali. Mereka yang memberikan, seperti merasa terpanggil atau kasihan. Sebaliknya bagi yang tidak memberikan, salah satu alasan klasiknya adalah karena para pengemis itu ada yang mengkoordinirnya atau ada ‘bos’nya. Mereka merasa percuma memberikan sedekah, toh bosnya yang nanti lebih banyak menikmati.
Fenomena para pengemis yang ada bos nya itu adalah cerita lama. Seorang teman pernah melihat bagaimana para pengemis itu di-drop di sebuah lokasi, untuk selanjutnya mereka menyebar, lalu kalau sudah waktunya mereka kemudian dijemput dan begitu seterusnya setiap hari. Hal ini juga berarti bahwa eksploitasi itu juga terjadi di kalangan kelompok miskin.
Kalau mengacu kepada definisi ‘ekspolitasi’ yakni politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan, maka situasi seperti di atas adalah salah satu bentuk eksploitasi.
Jika dikelompokkan maka ‘ekspoitasi’ dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni eksploitasi terhadap manusia dan eksploitasi terhadap alam. Keduanya tentu dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun lembaga.
Yang dilakukan oleh manusia dalam kapasitasnya secara pribadi, selain contoh di atas, tentu masih banyak lagi. Perlu dicatat, dari sudut pandang yang di’eksploitasi’ ada yang karena terpaksa atau terjebak atau yang bersifat sukarela. Yang bersifat terpaksa (walaupun tidak semua), misalnya wanita tuna susila yang dikoordinir oleh mucikari. Yang bersifat ‘sukarela’ misalnya para model, terutama model telanjang. Terlepas dari jumlah bayaran yang diterima, aspek eksploitasinya adalah bagaimana si model harus berjuang matian-matian untuk mempertahankan bentuk tubuh agar tetap ideal agar tetap bisa eksis (self-exploitation). Ada kasus dahulu, seorang model harus kehilangan nyawa karena dia harus membatasi sekali asupan makanannya untuk mempertahankan kekurusan tubuh yang diinginkan.
Yang dilakukan oleh manusia sebagai lembaga (perusahaan, negara) misalnya, apa yang terjadi terhadap kaum romusha pada saat jaman penjajahan Jepang dan tanam paksa pada waktu penjajahan Belanda, Kalaupun ada tujuan untuk kesejahteraan orang banyak, sebuah eksploitasi akan cenderung merugikan atau merebut hak-hak masyarakat yang ‘tereksploitasi’. Contohnya bisa kita simak seperti yang digambarkan dalam film dokumenter “Sexy Killers besutan sutradara Dandhy Dwi Laksono. Dalam film itu digambarkan bagaimana dampak penambangan batubara terhadap masyarakat sekitarnya. Dalam beberapa hal kasus reklamasi juga membawa dampak baik terhadap masyarakat maupun lingkungan.
Mandalika dan Pariwisata Bali
Beberapa studi dan seminar (yang dilakukan sebelum pandemi) bahwa Bali akan mengalami krisis air pada tahun 2025. Salah satu studi dari Yayasan IDEP meyatakan bahwa 65% kebutuhan air terserap untuk kebutuhan sektor pariwisata. Ini artinya bahwa sektor pariwisata rentan menyebabkan terjadinya ‘eksploitasi’, dalam hal ini terhadap kebutuhan air karena ribuan hotel di Bali mesti dipenuhi kebutuhan airnya. Belum lagi beban terhadap lingkungan akibat timbunan sampah dari gemerlapnya pariwisata.
Dalam sebuah diskusi, kawan saya bercerita bahwa ada seorang professor menyatakan bahwa kebangkitan pariwisata Lombok dengan Mandalikanya adalah hal yang bagus untuk Bali. Alasannya adalah, beban lingkungan yang dirasa sudah ‘over-capacity’ buat Bali, bisa lebih ringan karena konsentrasi arus tamu akan terbagi.
Kontan saja pendapat sang Profesor itu mengundang kontroversi. Banyak yang tidak setuju terkait dengan jumlah wisatawan yang ke Bali. Artinya dengan berkurangnya atau dengan kunjungan wisatawan yang tidak bisa sama seperti dahulu, pendapatan Bali tentu akan jauh berkurang yang tentu saja berpengaruh terhadap orang-orang atau pihak terutama yang bergerak di sektor pariwisata. Pandangan sang professor sepertinya lebih kepada aspek lingkungan. Karena dengan berkurangnya jumlah kunjungan wisatawan, disisi lain akan mengurangi beban ‘eksploitasi’ terhadap Bali sehingga ketahanan lingkungan lebih terjaga. Pilihannya memang sulit.
Dari Budaya Air ke Budaya Darat
Peralihan ekonomi Bali dari sektor pertanian ke sektor pariwisata, berarti beralihnya budaya air ke budaya darat. Pengembangan wisata jelas memerlukan peningkatan prasarana dan sarana. Peningkatan prasarana yang paling nyata adalah dengan dibuka jalan-jalan baru yang tentu saja banyak mencaplok lahan-lahan (produktif) baru. Kini budaya jalan (darat) smakin popular. Banyak konversi lahan untuk jalan-jalan baru, termasuk shortcut Badung -Buleleng, sehingga budaya sungai (air) terabaikan; sungai-sungai menjadi kotor (penuh sampah plastik, dan lain-lain). Apalagi jika rencana jalan tol Gilimanuk – Mengwi jadi direalisasikan, maka ratusan hektar lahan produktif akan diterabas seperti yang disinyalir oleh WALHI BALI. Padahal kalau mau berkaca kita lebih banyak membutuhkan air bersih dari pada pembukaan jalan-jalan baru. Dan yang pasti daerah resapan akan semakin berkurang, yang tentu saja potensial akan terjadinya bencana alam (banjir). Pencaplokan lahan-lahan baru seperti digambarkan di atas yang disertai eksplorasi dan eksploitasi air tanah salah satunya tentu karena untuk sektor pariwisata.
Dari contoh-contoh di atas, saya hendak katakan bahwa, ‘eksploitasi’ terjadi dalam banyak aspek dan akan terus terjadi selama kehidupan berlangsung.
Riwayat Penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.