Merasa Istimewa
Opini-kabarbalihits
Secara tidak sengaja, saya sempat melihat sebuah unggahan di media sosial yang menampilkan beberapa orang dengan sengaja menari-nari di sebuah perempatan selama lampu merah menyala. Demikian pula ada sejumlah orang yang (gemar) berfoto dengan orang-orang terkenal atau berpengaruh (artis, pejabat, atau profesi lainnya). Ada juga yang mengeluh-kesahkan masalah pribadinya di media sosial. Ada juga yang selalu berusaha tampil trendi dan tampilan-tampilan lainnya. Atau banyak juga yang menampilkan segala bentuk keberhasilan/prestasi sendiri atau keluarganya. Yang jelas ada banyak hal-hal yang bisa kita lihat terkait apa yang ditampilkan orang di media sosial.
Bahkan tidak jarang ada yang menempuh cara-cara ekstrim untuk bisa ditampilkan di media sosial. Pernah ada sepasang turis mengendarai sepeda motor dan menceburkan diri mereka ke laut. Ada ribuan bahkan ratusan ribu kalau tidak jutaan aksi-aksi ekstrim seperti itu pastinya di seluruh dunia. Dan yang sedang popular saat ini adalah sebuah aplikasi media sosial yang menampilkan kaum hawa dengan pakaian yang minim sekali sembari bergoyang sensual dan erotis yang tidak jarang mengundang hasrat paling dasar manusia, khususnya kaum laki-laki. Di tengah semakin tingginya budaya permisif, hal-hal itu semakin menjadi lumrah saat ini
Ada yang mencoba mempresentasikan diri meniru artis pujaannya, terutama saat ini yang popular adalah segala sesuatu yang berbau Korea, terutama dikalangan anak muda dan remaja; apakah dalam hal gaya rambut, cara berpakian, atau memakai foto profil artis pujaannya. Bahkan terakhir sampai lunch box makanan cepat saji sempat menimbulkan kehebohan hanya karena berisi gambar sebuah grup musik Korea yang lagi ngetop.
Dan dalam kehidupan sehari-hari ada juga yang selalu mengikuti perkembangan artis pujaan mereka lewat media sosial, membicarakan mereka dalam obrolan sehari-hari, bahkan mengandaikan diri seandainya mereka bisa mengalami kehidupan seperti pujaannya (kaya dan terkenal).
Jika diperhatikan, ada banyak sekali yang bertingkah polah seperti itu seperti digambarkan di atas, termasuk mereka yang mengungkapkan masalah pribadi maupun keluhan di media sosial (entah itu masalah dengan pacar, istri, keluarga atau orang lain), mereka seperti meminta dikasihani atau diperhatikan karena memiliki masalah seperti itu. Orang yang mengalami masalah serupa tentu jumlahnya tidak terhitung.
Pertanyaan adalah untuk apa semua itu? Ya, karena kita semua tampak ingin ‘istimewa’. Istimewa dalam pengertian bahwa kita ingin berbeda dari orang lain; berbeda dengan tujuan agar kita diperhatikan. Nah, kalau sesuatu jumlahnya banyak, lalu dimana letak istimewanya? Berarti sebenarnya sebagian besar dari kita adalah termasuk rata-rata tapi berusaha merasa istimewa.
Menurut seorang ahli, orang yang benar-benar istimewa dalam pengertian bahwa orang-orang tersebut sangat unggul pada satu bidang sebenarnya bukan karena merasa dirinya istimewa. Justru mereka menjadi istimewa karena merasa tidak istimewa, karena mereka terus belajar dan melakukan perbaikan. Jadi ada proses pembelajaran dalam hal ini. Misalnya, mereka yang memiliki prestasi dibidang olahraga dan seni. Pastinya mereka rela menderita melalui latihan keras dan dalam jangka waktu yang panjang sehingga mencapai prestasi yang luar biasa.
Nah, dari pada ingin merasa istimewa, lanjutnya, lebih baik menerima kenyataan hidup sendiri yang rata-rata alias biasa-biasa saja yang terkadang hambar dan membosankan. Justru nantinya karena merasa biasa-biasa saja kita bisa melakukan hal-hal yang istimewa.
Poinnya adalah merasa istimewa bukan karena ‘mendompleng’ keistimewaan orang lain, tetapi lebih kepada tindakan, perilaku, atau karya yang kita hasilkan, sekecil apapun itu.
Demikian pula, banyak motivasi agar kita bisa menjadi orang yang luar biasa dan meraih sukses. Lalu jika tiap orang kemudian luar bisa dan sukses (istimewa), lalu bagaimana kita menentukan indikator orang tersebut istimewa. Begitu pula kemajuan tehnologi, dalam hal ini ‘nternet’ yang memberikan kita kebebasan mengekspresikan diri lewat sejumlah format media social yang membuat kita merasa istimewa. Masalahnya Ketika ‘pengekspresian diri’ tersebut berhadapan dengan sudut pandang atau pendapat yang berbeda kemudian kita menjadi jengkel dan naik pitam. Nah, kalau keadaannya sudah seperti ini apakah kita masih merasa istimewa?
Dalam kehidupan sehari mungkin secara tidak sengaja seseorang bisa saja terkena Efek Didirot demi mengejar “merasa istimewa” tadi. Katakanlah seseorang membeli atau mendapat hadiah yang dia sangat sukai, misalnya sebuah kemeja yang sangat mahal. Akhirnya agar dia merasa mendapat padanan dengan kemeja tersebut akhirnya dia membeli celana panjang (walaupun misalnya stok celana panjangnya banyak), lalu sepatu, topi dan seterusnya sehingga yang terjadi adalah orang bersangkutan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dia butuhkan.
Orang juga bisa terkena “treadmill hedonism” agar tetap merasa istimewa, memiliki rumah baru, mobil baru, baju baru, gebetan baru, dan sebagainya yang semuanya menuntut kerja keras karena memang secara biologis manusia selalu ingin yang lebih. Bahkan ada sejumlah orang punya prinsip, kalau kita tidak punya uang atau tidak kaya, maka tidak akan ada yang memperhatikan dan juga direndahkan (tidak istimewa — penulis).
“Merasa istimewa” dalam beberapa hal bisa membangkitkan rasa percaya diri. Akan tetapi ketika “merasa istimewa” menjadi sebuah kebutuhan yang mungkin saja membuat hidup kita seperti dalam keadaan panik karena pikiran dan perasaan terus terpacu untuk mencari cara agar tetap “merasa istimewa”, mungkin ada baiknya mempertimbangkan menjadi orang yang rata-rata atau biasa saja. Kalaupun kita tidak merasa istimewa, tetapi bisa dan mampu mengapresiasi pengalaman-pengalaman sederhana dalam hidup seperti pertemanan yang akrab, membuat sesuatu atau karya (sekecil apapun itu), membantu orang yang membutuhkan, membaca buku menarik sesuai minat, menulis, tertawa dan bertukar cerita dengan orang yang dekat atau kita sayangi adalah hal yang sangat istimewa tentunya. Kelihatannya sederhana, tetapi hal-hal tersebut pada saat ini, semakin jarang orang bisa lakukan ditengah gempuran materialisme. Justru kalau kita bisa mendapat pengalaman-pengalaman seperti itu, kita malah menjadi ‘istimewa’ bukan?
Riwayat Penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.