
Menghakimi
Ada banyak hal atau realita yang orang tidak sesuai dengan apa yang bersangkutan inginkan atau bayangkan, yang kemudian membuatnya cenderung mengakimi orang lain; melihat seorang wanita (maaf; gemuk) dan berpaha besar dan memiliki banyak bekas luka masa kecilnya memakai celana pendek ketat, yang bersangkutan akan berujar, bahwa wanita itu tidak bisa menyesuaikan tata cara berpakaian; ada wanita yang merokok, langsung saja dihakimi bahwa wanita yang bersangkutan adalah wanita tidak benar dan sebagainya. Padahal kalau kita mau jujur, pada kasus wanita berpaha besar tadi, dalam banyak hal tingkat kepercayaan dirinya sangat tinggi. Sebab kalau tidak, tidak mungkin dia akan berpakaian seperti itu. Dan jangan lupa bahwa kepercayaan diri yang tinggi adalah hal yang penting.
Pada sebuah upacara pernikahan, saya duduk dekat sepasang suami-istri yang jaraknya dua-tiga kursi dari saya. Istrinya berbisik: “Kok bisa ya, padahal yang laki ganteng.” Suaminya kemudian menjawab: . “Oh ya, ya…kok mau ya yang laki. Pasti yang cewek, modalnya gede, makanya yang laki mau. Jangan-jangan yang laki-laki diguna-gunai”.
Saya menjadi penasaran apa maksud komentar yang dilontarkan pasangan suami-istri tersebut. Saya berfikir, pasti ini ada hubungannya dengan pasangan yang menikah. Ya, benar saja, ketika saya melihat ke salah satu sudut, saya melihat kedua mempelai sedang berdiri dan berbicara dengan sejumlah tamu. Memang mesti diakui pengantin laki-laki berwajah tampan sedangkan istrinya memang berbadan besar. Sepintas menurut pandangan umum memang tidak serasi.
Contoh-contoh di atas menunjukkan betapa (pada umumnya) orang sangat suka sekali ‘menilai’ atau ‘menghakimi’ berdasarkan apa yang dilihat secara visual saja tanpa mau bersusah payah berfikir atau merenungi mengapa sesuatu atau seseorang tampak seperti itu. Kalau seseorang hobi menghakimi, memang berbagai komentar miring akan sering tersembur dari mulutnya jika melihat hal-hal seperti itu. Komentar-komentar seperti itu mencerminkan bahwa orang bersangkutan tidak terbuka hatinya atau tidak mau melihat realita-realita yang diluar kebiasaan atau kecendrungan umum. Ini merupakan cerminan hati yang rapuh, alias tidak stabil. Bisa menilai orang lain tapi enggan menilai diri sendiri yang belum tentu lebih baik dari orang yang ‘dihakimi’. Bisa jadi anggapan kita benar, bisa jadi tidak. Terus kalau benar mau apa, kalau tidak, mau apa juga? Pada kasus pengantin di atas, siapa tahu yang laki memang mencintai si perempuan karena banyak dari sikap, perilaku dan cara berfikir si wanita tersebut membuat yang laki-laki benar-benar jatuh cinta pada si wanita.
Di Bali kami menyebut orang seperti itu “kemig” atau “calig”. Calig selalu mengundang perasaaan tidak enak dari orang yang dibicarakan atau disindir, apalagi orang yang ‘dihakimi’ tidak kuat bathin dan mental, sehingga tidak jarang menimbulkan permusuhan atau kebencian.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa orang suka menghakimi meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda? Dari apa yang saya pelajari, hal itu timbul karena pada dasarnya manusia memiliki ‘ego’. Dan dalam banyak hal ‘ego’ itu perlu diberi ‘asupan’ agar selalu terpuaskan. Dan ‘menghakimi’ adalah salah satu cara memberi asupan kepada ego.
Sebelum bahasan lebih lanjut, maka saya rasa perlu menyampaikan definisi ‘ego’ menurut Wikipedia adalah “struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri, diatur oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi frustrasi.”
Jadi kembali kepada contoh-contoh yang diutarakan di atas, seseorang menjadi ‘frustasi’ melihat wanita gemuk bercelana pendek ketat tadi dan juga pasangan pengantin yang tidak serasi tadi. ‘Psikis’ seseorang ‘terganggu’ melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip realitas tadi bahwa: wanita gemuk bercelana pendek tadi seharusnya berpakain sopan dan begitu pula pasangan pengantin yang laki-lakinya ganteng seharusnya mendapatkan pasangan wanita yang cantik atau sepadan.
Nah, ‘ke-frustasi-an’ (bhs Bali: inguh) seseorang tadi kemudian dikeluarkan lewat komentar, yang cenderung menghakimi agar tercapai semacam ‘keseimbangan’ psikis dalam dirinya. Ini sesuai dengan hukum Newton bahwa “Setiap tindakan mendatangkan reaksi emosional yang kadarnya setara.” Dalam bahasan ini saya andaikan ‘tindakan’ tersebut sebagai sebuah realita yang mendatangkan ‘perasaan negatif’ pada diri seseorang dan orang bersangkutan mengupayakan ‘penyeimbangan’ kondisi emosionalnya yakni lewat komentar tadi.
Kembali kepada definisi ‘ego’ tadi, maka dalam hal ini ada sebuah premis yang dapat dilontarkan bahwa semakin rendah kemampuan ‘toleransi’ seseorang terhadap sesuatu yang berbeda atau bertentangan dengan ‘prinsip realitas’ (anggapan umum), maka semakin tinggi tingkat ‘frustasi’nya. Dan semakin tinggi tingkat ‘frustasi’, maka semakin ‘kemig’ seseorang.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah seberapa tinggikah tingkat ‘toleransi’ seseorang terhadap sesuatu yang berbeda dari anggapan umum? Hanya orang yang bersangkutan yang tahu, yang tentu saja banyak tergantung pada tingkat kedewasaan ‘menerima’ keadaan dan tingkat pengendalian dirinya.
Riwayat Penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.


