Paradoks Kehidupan
Gianyar-kabarbalihits
“Katanya mencegah penyebaran virus, sekolah ditutup, tetapi pasar dan mall yang jauh lebih rame kok malah dibuka?” itulah adalah salah satu pertanyaan yang sering terlontar selama masa pandemi ini. Situasi tersebut adalah salah satu contoh paradoks perilaku manusia berkaitan dengan pandemi Covid-19. Masih banyak contoh-contoh paradoks perilaku berkaitan dengan pandemi ini yang kalau mau disebutkan satu persatu.
Paradoks itu sendiri muncul karena ulah manusia itu sendiri. Misalnya dalam hal tehnologi; manusia terus berinovasi dengan tehnologi agar semakin membuat hidup lebih nyaman atau mudah. Namun kemajuan tehnologi kemudian bukannya tanpa masalah. Katakanlah dalam hal kemajuan tehnologi dimana banyak pekerjaan yang dulunya diambil oleh manusia, namun perlahan-lahan semakin banyak pekerjaan yang diambil oleh mesin. Satu mesin misalnya bisa menggantikan sepuluh tenaga manusia bahkan mungkin lebih. Di satu sisi orang sangat senang atau kagum dengan kemajuan tehnologi karena membuat hidup semakin mudah dan nyaman namun di sisi lain orang lalu menjadi khawatir dan takut semakin banyak orang yang kehilangan pekerjaan.
Dengan demikian sekalipun orang sedih atau prihatin terhadap situasi yang paradoks ini, namun di sisi lain mereka tidak bisa berbuat apa. Banyak segi kehidupan dimana situasi yang paradoks itu melekat.
Dalam kehidupan keluargapun kita bisa temukan keadaan paradoks ini. Banyak orang tua berkeinginan agar anaknya sewaktu kecil supaya lincah dan berani. Di sisi lain mereka selalu menggunakan kata “Jangan” setiap kali anak mau beraktifitas, misalnya saat mereka lari terlalu kencang. Begitu pula, semua orang tua ingin agar masa depan anak-anaknya sukses. Ukuran sukses di sini tentunya adalah kaya secara materi atau memiliki kedudukan tingggi atau terpandang sehingga para orang tua cenderung memilihkan anaknya jurusan yang bersifat main stream. Padahal disisi lain si anak tentu memiliki ketertarikan terhadap bidang atau jurusan sesuai minatnya.
Demikian pula, banyak orang geram melihat maraknya korupsi di negara ini, terutama yang terjadi di tingkat atas. Namun tanpa disadari, di siis lain, penanaman bibit-bibit korupsi sudah mulai tertanam sejak dini, khususnya di dunia pendidikan; jual beli skripsi, ijasah, memaksakan anak di sekolah tertentu lewat jalur belakang, ‘surat sakti’ untuk mencapai suatu tujuan, mencari pekerjaan dengan cara ‘nombok’, dan menganjurkan anak kalau sudah bekerja, usahakan cari tempat yang ‘basah’, dan sebagainya.
Intinya semua aspek kehidupan diwarnai oleh situasi paradoks ini dan sepertinya manusia sudah terjebak dan tidak bisa lepas dari perangkap paradoks ini.
Seseorang yang memiliki kepekaan, misalnya dalam masalah sosial, akan merasa ‘gemas’ menghadapi situasi paradoks ini. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung, tetapi tidak bisa berbuat apa apa untuk mengatasi masalah itu. Namun seperti kata seorang novelis, bisa memahami atau menghayati sebuah keadaan paradoks dalam beberapa hal merupakan sebuah ‘kemewahan’ yang hanya bisa dirasakan di dalam hati.
Kalau dirunut, paradoks timbul akibat ulah atau perilaku itu manusia itu sendiri. Misalnya pada kasus kemajuan tehnologi seperti diuraikan di atas. Hidup semakin nyaman dengan segala kemudahan tetapi di sisi lain ada ketakutan lapangan pekerjaan semakin berkurang karena sejumlah pekerjaan diambil alih oleh mesin. Lagi pula kemajuan tehnologi dalam banyak hal membuat hidup orang semakin ruwet karena cenderung tidak fokus, saking banyaknya bidang/aplikasi yang mesti diketahui atau dikuasai.
Dari urain di atas paradok merupakan sebuah akibat (sampingan). Artinya bahwa di awal ada perilaku manusia untuk sebuah tujuan, tetapi ada sesuatu yang terjadi kemudian yang tidak terduga sebelumnya. Contohnya pada kemajuan tehnologi tadi.
Paradoks juga terjadi berawal dari sebuah harapan, cita-cita, yang kemudian diimplementasikan dengan perilaku atau tindakan yang tidak jarang tidak sejalan atau berlawanan atau menyimpang dari harapan itu sendiri. Contohnya, sejumlah paradoks pandemi saat ini.
Ketakutan yang berlebihan sehingga mendorong orang bertindak tidak rasional dan cenderung konyol. Contohnya sejumlah situasi paradoks terkait pandemi ini. Saat masuk restoran atau rumah makan kita harus pakai masker, tetapi di dalam pada saat makan, mau tidak mau masker harus dibuka.
Paradoks juga timbul karena pikiran yang tidak terbuka atau pikiran yang dangkal. Hampir semua orang mendambakan keadilan untuk mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya, tetapi ketika ada orang yang memperjuangkan keadilan atas nama lingkungan dan kemanusian secara total tanpa kepentingan atau agenda, mereka malah nyinyir dan mencibirnya. Sebaliknya untuk urusan yang lebih remeh temeh, mereka-mereka tersebut malah ingin tampil bak pahlawan.
Kita tahu bahwa paradoks tersebut jelas merupakan sebuah ganjalan yang tentu saja berpengaruh pada kondisi psikologis. Pertanyaannya, bisakah manusia lepas dari siatuasi paradoks ini? Disinilah masalahnya…manusia tidak akan pernah bisa lepas, karena paradoks itu sendiri tercipta oleh perilaku manusia itu sendiri.
Riwayat Penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.