Citra Diri, Jualan dan Medsos
Dari apa yang saya amati dari medsos (khusunya Facebook), ada dua karakteristik yang terkandung dalam sebuah unggahan. Pertama, sebuah unggahan cenderung bersifat ‘menjual’. Yang ‘dijual’ bisa berupa citra diri, barang/produk maupun jasa. Kedua, sebuah unggahan biasanya membawa sebuah ‘pesan’.
Jualan
‘Jualan’ yang bersifat ‘citra diri’ misalnya bisa kita lihat dari unggahan seseorang yang berkisah tentang dirinya, misalnya tentang pencapaian/prestasi yang dicapainya. Atau bisa pula dari kata-kata bijak yang diunggah walaupun dirinya belum tentu bisa berperilaku seperti kata-kata yang diunggah. Bisa juga lewat postingan foto-foto tempat yang disinggahi, gaya berfoto atau pakaian yang dikenakan. Bisa juga dengan siapa yang bersangkutan selalu berusaha bisa berfoto (bisanya dengan tokoh/selebriti) dan menggunggahnya di medsos. Ada juga yang ingin menampilkan citra dirinya sebagai seseorang yang tampak lucu dan kadang-kadang ‘nyleneh’. Namun citra diri yang ditampilkan di medsos pada umumnya berbeda dengan kehidupan seseorang di dunia nyata.
‘Jualan’ yang bersifat barang atau produk (dan ini yang saya kira paling tinggi angkanya) sudah sangat jelas dalam hal ini. Yang memiliki produk makanan/minuman/pakaian dan sebagainya tentu akan lebih sering atau selalu mengunggah produk-produknya sebagai sarana untuk promosi. Yang memiliki tempat makan atau minum apakah itu warung/restauran atau tempat ngopi tentu saja akan lebih cenderung mengunggah usahanya tersebut. Yang berprofesi sebagai arsitek tentu saja akan menggunggah proyek-proyek yang dirancangnya. Demikian pula yang berprofesi sebagai seniman akan cenderung mengunggah hasil karyanya. Yang memiliki lembaga pendidikan/kursus atau bidang jasa lainnya pasti akan cenderung mengunggah tentang jasa yang ditawarkan. Demikian pula dengan profesi-profesi lainnya. Intinya semua bersifat ‘menjual.’ Intinya, ‘jualan’ lebih mengacu kepada profesi seseorang.
Pesan
Disamping bersifat ‘menjual’, sebuah unggahan juga bisa berupa ‘pesan’. Perlu dicatat bahwa apa yang diunggah seseorang bisa mencakup keduanya. Kadang-kadang yang bersangkutan ‘menjual’, tapi pada suatu saat menggunggah sebuah ‘pesan’. Pesan itu bisa berupa informasi, propaganda (terselubung), edukasi, sindiran, kritik, keluhan, umpatan dan sebagainya.
Apakah postingan itu cenderung bersifat ‘menjual’ ataupun bersifat ‘pesan’, keduanya memiliki tujuan untuk membuat orang lain atau yang melihatnya ‘terkesan’, dengan kadar yang berbeda-beda tentunya. Maksud saya, dalam hal unggahan yang cenderung berupa ‘pesan’, ada seseorang yang mengunggah sesuatu karena murni ingin menyampaikan sebuah ‘pesan’ (terutama pesan yang bersifat kritik atau edukasi), atau pesan yang bersifat ‘keluhan’ atau ‘sindiran’ misalnya, yang menggunggahnya mungkin ingin agar orang tahu bahwa dirinya ‘teraniaya’ atau ‘menderita’ misalnya, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan reaksi dari orang yang melihat/membaca sebuah unggahan? Reaksi seseorang terhadap sebuah unggahan tergantung dari beberapa hal, seperti ‘kerangka pengalaman’ (frame of experience), referensi, preferensi, kedekatan/pertemanan dengan yang membuat unggahan dan ketertarikan terhadap yang diunggah.
Saya akan mencoba membedahnya berdasarkan ‘like’ dan komentar yang diberikan seseorang, sebagai berikut:
- Ada yang memberi ‘like’ semata-mata karena yang bersangkutan merasa berteman dengan yang mengunggah, walaupun tidak tahu/mengerti tentang makna sebuah unggahan.
- Ada yang member ‘like’ atau ‘komentar’ agar saat dia menggunggah sesuatu nanti juga dibalas dengan ‘like’ atau di komentar balik.
- Ada yang melihat saja tanpa memberi ‘like’ atau komentar karena tidak tahu/mengerti dengan yang diunggah atau karena unggahannya tidak pernah di-‘like’ atau diberi komentar oleh orang tersebut. Istilahnya, “Unggahan saya saja tidak pernah di-‘like atau dikomentari buat apa saya juka ‘like’ dan komentar?”
- Ada yang memberi ‘like’ atau komentar karena memang suka dan sependapat dengan unggahan tersebut.
- Ada yang memang tidak peduli dengan unggahan seseorang walaupun berteman, karena preferensinya memang beda.
Berdasarkan uraian di atas, di dunia medsos (dalam dalam banyak hal) juga berlaku semacam hukum ‘transaksional’; seperti terungkap dalam kalimat “Saya akan memberi ‘like’ atau komentar jika unggahan saya juga di-‘like’ atau dikomentari.” Jangan salah, hukum transaksional sangat mempengaruhi naik turunnya perasaan seseorang yang berpengaruh pada kondisi emosianal seseorang; banyak ‘like’ atau komentar, jadi senang, demikian pula sebaliknya, sedikit ‘like’ atau komentar, lalu merasa galau. Akan tetapi dalam banyak hal ada juga yang tidak peduli apakah unggahannya banyak mendapat ‘like’ atau ‘tidak’.
Namun perlu ditekankan bahwa tidak ada yang salah dengan ‘menjual’, terutama yang menyangkut ‘citra diri’. Citra diri yang ingin dibangun seseorang akan kembali kepada yang bersangkutan, dalam artian bahwa apapun yang ditampilkan seseorang pada unggahannya akan mendapat respon dari yang melihatnya dengan persepsi yang berbeda-beda yang mungkin akan berpengaruh pada citra diri ‘semu’ yang bersangkutan pada diri orang lain. Kenapa saya katakana ‘semu’, karena apa yang ditampilkan seseorang pada unggahnnya di medsos, tidak serta merta mencerminkan kesehariannya.
Dalam hal keaktifan, saya membagi netizen menjadi dua; pertama, pelaku aktif, yakni seseorang yang berperan sebagai ‘pengunggah’ sekaligus juga pemberi ‘like’ atau komentar pada unggahan orang lain; kedua, pelaku pasif, yakni orang yang hanya memberi ‘like’ atau komentar tanpa pernah atau jarang sekali mengunggah status. Yang termasuk pelaku pasif adalah mereka yang hanya melihat unggahan orang lain, tanpa pernah member ‘like’ maupun komentar.
Yang jelas medsos bisa dijadikan alat untuk berkomunikasi secara maya dengan kawan/sahabat yang dalam kenyataannya tidak bisa kita temui secara langsung tetapi tetap bisa menjalin komunikasi atau agar hubungan pertemanan tetap berjalan. Karena pada kenyataannnya, walaupun kita punya teman ratusan, bahkan ribuan di medsos, paling banter tidak sampai tiga orang yang memang bisa kita ajak komunikasi secara berkesinambungan (dalam artian bisa bertemu secara tatap muka secara (lebih) rutin karena banyak tergantung kepada (terutama) kesamaan hobi, ketertarikan dan kedekatan jarak tempat tinggal.
Putu Semiada
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah sekolah bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’. Juga aktif di gerakan sosial, khususnya di ForBali.