Pasraman Air : Aji Toya, Pantik Kesadaran Akan Krisis Air di Bali
Denpasar-kabarbalihits
Krisis air adalah ancaman yang nyata di Bali, kendati demikian kesadaran masyarakat atas hal itu masih terbatas.
Hal tersebut diungkap oleh perwakilan dari Pasraman Air, Wayan Robi pada diskusi akan kesadaran air bersih di Kerobokan, Badung.
“Krisis air menjadi ancaman sekaligus tantangan, sampai hari ini kita belum bisa melakukan tindakan nyata untuk menjawab tantangan itu, karena masyarakat masih terlena menganggap Bali masih punya air,” kata Wayan Robi salah satu perwakilan dari ‘Pasraman Air : Aji Toya’.
Sebagai wilayah yang sangat bergantung dengan industri pariwisata, segala kebijakan pemerintah selalu didesain berada atas kepentingan industri di sektor itu. Akibatnya, pertumbuhan pariwisata berjalan beriringan dengan kerusakan lingkungan baik di hulu maupun di hilir.
Padahal, kata Robi jika membahas ketersediaan air yang bersih atau berkualitas, secara nampak Bali sangat terancam. “Kini secara nampak bisa kita lihat kualitas air danau-danau di Bali menurun akibat penggunaan pestisida secara serampangan dan masif untuk mengelola perkebunan, hingga deforestasi (penggundulan hutan),” ujarnya Jumat (30/04/21).
Sejak dahulu, leluhur Bali telah mengenal konsep ‘Nyegara Gunung’ dimana segala hal tindakan yang ada di hulu akan berdampak di hilir. “Apa yang ada di hilir adalah sumbangsih dari hulu lakukan,”ungkapnya.
‘Pasraman Air’ hadir sebagai upaya penyadaran pentingnya di Bali. Selama sepekan dari Senin (26/4) hingga Minggu (2/5) di Geo Open Space, Kerobokan, Kuta, Badung, digelar diskusi mengenai pentingnya kesadaran akan air bersih dan bagaimana untuk terus mempertahankannya. “Mulai dari sana kita ingin bangun keperdulian, hal yang terkecil adalah tidak mengotori mata air, jangan membuang sampah sembarangan,” ungkapnya.
Dipaparkan ‘Aji Toya’ Dalam bahasa Bali, kata aji dapat berarti ‘ayah’, ‘ajaran’, juga dapat merujuk kata sifat untuk sesuatu yang berharga sekali dan dianggap keramat. Sementara itu, kata toya berarti air atau daya.
“Kesadaran yang dicoba dibangun dalam kegiatan adalah pengenalan lebih dalam akan nilai penting dari air, banyak perbincangan tentang lingkungan, kebanyakan hanya menyoroti relasi antara unsur abiotik dengan menarik kegunaannya terhadap manusia,” tambah Wayan Robi.
“Kita bedah secara intim, oleh pelaku-pelaku yang kesehariannya dekat dengan air selama sepekan ini,” katanya.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali, I Ketut Ariantana yang juga salah satu pemantik dalam Pasraman Air itu mengungkapkan, tingkat eksploitasi air tanah yang terus-menerus dan makin intensif di Bali, mengakibatkan terjadinya subsiden atau penurunan permukaan tanah. “Selain itu, eksploitasi air tanah secara masif berpotensi besar membawa Bali ke dalam keadaan krisis air tanah (air besih) tidak lama lagi,” ungkapnya.
Jika bertolak dari hal itu, dapat disimpulakn kondisi air tanah di Bali sedang tidak baik. “Jika tidak ada tindakan nyata untuk mengatasi eksploitasi air tanah yang terus-menerus, maka tidak usah menunggu waktu Bali akan mengalami krisis air,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, saat ini diperkirakan pemanfaatan air tanah di Indonesia sudah mencapai 70 persen lebih dari total sumber air bersih yang ada. “Dan di Bali, pemanfaatan air tanah dipekirakan lebih tinggi, yakni di atas 70 persen, terutama di Bali Selatan,” tambahnya.
“Walaupun kita menggunakan air PDAM, sumber airnya juga sebagian besar air tanah. Nah, ketika krisis air, (berkurangnya) air tanah dituding sebagai kambing hitam, padahal pelakunya tiada lain tiada bukan adalah kita semua. Kita sebagai perusak lingkungan tak kentara,” tandasnya. (r)