Perda Bendega Minim Sosialisasi, HNSI Harapkan Harmonisasi Dengan Pembangunan Pariwisata Bali
Denpasar – kabarbalihits
Melindungi, memberdayakan, melestarikan Bendega sebagai lembaga tradisional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya dan religius dibidang perikanan Sesuai perkembangan pembangunan, serta merupakan bagian dari budaya tradisional Bali sehingga perlu diakui dan dihormati keberadaanya, sekaligus mengakhiri konflik berkepanjangan di pesisir.
Hal inilah yang mendorong Yayasan Mandhara Research Institut bekerjasama dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Bali menggelar Webinar yang bertajuk “Perda Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Bendega sebagai Implementasi Nagun Sat Kerthi Loka Bali yaitu Segara Kerthi”. di Warung 63, Denpasar, Kamis (25/3).
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 2017 tentang Bendega (lembaga tradisional yang mengatur soal perikanan dan kelautan di Bali) sudah ditetapkan tahun 2017 lalu. Namun sosialisasinya masih sangat kurang, sehingga implementasinya pun tidak berjalan maksimal. Hal ini pun berdampak terhadap hak-hak bagi nelayan terutama semakin berkurangnya wilayah pesisir akibat gempuran pariwisata.
Webinar Bendega tahun 2021yang diikuti berbagai elemen masyarakat mulai Bendesa hingga kaum Milenial menghadirkan tiga narasumber kompeten yakni Ketua DPD HNSI Provinsi Bali Ir. I Nengah Manumudhita,MM, Akademi Universitas Warmadewa, Dr.Ir. I Ketut Sudiarta,M.Si serta Akademisi Universitas Udayana, Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum.
Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Bali Ir. I Nengah Manumudhita, MM dalam materinya yang berjudul Perda 11 tahun 2017 tentang Bendega sebaga Implementasi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yaitu Segara Kerthi menyatakan, mulainya timbul persoalan di Bali khususnya di pesisir ini ketika adanya pembangunan pariwisata, meski dari segi positif pariwisata meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali, namun terdapat persoalan-persolan yang harus mendapatkan perhatian dan penyelesaian bersama diantaranya pembangunan yang dilakukan oleh penanam modal atau investor.
“Sejak tahun 1985 menjadi kesulitan kita bersama yakni sulit akses ke pantai, hal ini terutama sangat dirasakan Bendega dalam melaut maupun menambatkan jukungnya,”ujarnya.
Bendega sebagai kearifan lokal di pesisir ini lanjut Manumudhita, dengan terbitnya Perda 4 tahun 2019 tentang Desa Adat permasalahan yang menimpa Bendega kembali bertambah dengan adanya intervensi dari Desa Adat.
“Mungkin karena pemahaman yang belum pas, sehingga dilapangan banyak timbul hal-hal yang perlu kita koordinasikan bersama sehingga betul-betul didalam implementasi Perda Bendega ini bisa berjalan dengan Baik.”terangnya, seraya menyebut dampak yang dirasakan Bendega, adalah penggusuran tempat- tempat Nelayan atau Bendega.
Bahkan yang lebih miris dan bisa membuat punahnya masyarakat Nelayan yakni akses menuju pesisir tertutup akibat adanya pembangunan yang dilakukan investor, sehingga sudah harusnya permasalahan para Bendega ini mendapat perhatian pemerintah.
Sementara Ir.Ketut Sudiarta Dosen tetap pada Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa dalam materi dengan judul Optimalisasi Pelaksanaan Perda Bendesa menuju Bali Era Baru mengatakan pada prinsipnya Perda Bendega adalah mahakarya Bali terhadap upaya pelestarian dan aktualisasi kearifan lokal Bali.
“Oleh karena itu Perda Bendega ini harus dioptimalkan untuk mendukung terwujudnya Visi pembangunan Daerah Bali,”ujarnya.
Meski Perda ini telah ditetapkan tahun 2017, Sudiarta mengakui tidak adanya tindak lanjut, sehingga ini menjadi tugas bersama semua pihak bagaimana perda ini dilaksanakan bukan untuk dipolemikan.
Pembicara lainnya,Dr. Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum dari Universitas Udayana dengan materi Mengharmoniskan Peraturan Daerah tentang Desa Adat, Subak dan Bendega menegaskan ada hal yang berbeda dengan persoalan Perda Desa Adat maupun Subak.
Bendega dari fakta sosiologisnya Kata mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia ini ,dalam pengukuhannya sebagai lembaga sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 30 dalam Perda Bendega itu adalah baru dilakukan kemudian.
Namun demikian fungsi Perda Bendega ini jika dibandingkan dengan Perda Desa Adat dan Subak yang dimaksudkan sebagai wujudnyata penghormatan negara kepada kesatuan masyarakat serta hak-hak tradisionalnya, Perda Bendega ini meskipun menguatkan elemen terhadap aspek sosiologis mengenai Bendega yang berkembang dalam masyarakat di pesisir, sesungguhnya lebih berkarakter sebagai pengejewantahan lebih lanjut dari perintah atau amanat dari peraturan perundangundangan di negeri ini.
Hal senada disampaikan, Ketua Yayasan Mandhara Research Institut Ida Bagus Sukarya yang menyatakan, Webinar ini merupakan kelanjutan Webinar Subak yang telah digelar sebelumnya yang membahas tentang penguatan lembaga Subak sehingga nantinya dapat bersinergi dan harmoni dengan Bendega, Pekaseh, Desa Adat dan Desa Dinas.
Ida Bagus Sukarya mengakui Selama ini ada beberapa kendala yang terjadi di lapangan terkait implementasi Perda Bendega. “Salah satunya yaitu ada ketidak sinkronan antara Perda Subak, Desa Adat dan Bendega. Permasalahan tersebut yang dibahas dalam webinar kali ini hasilnya, akan disuarakan kepada Gubernur Bali,”ujarnya.
Meski Demikian dalam tahapan harmonisasi ketiga Perda tersebut, Ida Bagus Sukarya mengatakan, pihaknya tetap akan bersama-sama melakukan sosialisasi terkait Perda Bendega yang sudah ada tersebut. (kbh6)