January 18, 2025
Opini

Mengapa Sebagian Besar Manusia “Pamrih”

Pamrih yang saya maksudkan adalah berbuat sesuatu dan mengharapkan sesuatu (imbalan) dari apa yang telah diperbuat. Imbalan tidak mesti dalam bentuk materi, tetapi juga non- materi, misalnya penghargaan diri, dan sejenisnya. Pamrih seseorang akan terekspos ketika sesuatu (imbalan) yang diharapkan tidak datang, dan orang bersangkutan lalu mengeluh dan bercerita kepada orang lain tentang apa yang dialaminya.

Mungkin banyak yang sudah pernah mendengar ungakapan-ungkapan kalimat sebagai berikut: 

“Ngapain saya menolongnya, dia saja tidak pernah menolong saya”.

“Tidak tahu balas budi, dia lupa bagaimana saya terus membantunya saat dia susah, tapi saat saya minta bantuannya, dia sama sekali tidak ditanggapi.”

“Dahulu dia makan tidur di rumah saya, tetapi jangankan mau menolong, papasan di jalan saja dia, buang muka.”

Ujaran kalimat-kalimat diatas sering kita dengar di masyarakat.  Pihak-pihak yang digambarkan di atas dianalogikan sebagai orang yang seperti, “Kacang lupa dengan kulitnya.”

Setiap orang memiliki sikap pamrih, cuma yang membedakan kadarnya saja. Sikap pamrih ini akan muncul saat dua pihak terlibat konflik. Masing-masing pihak akan mengklaim bahwa dirinya yang benar. Misalnya ada dua orang (teman) yang memiliki hubungan yang baik dalam jangka waktu yang lama. Namun karena satu dan lain hal, tiba-tiba terjadi perselisihan. Maka bisa diduga, masing-masing akan berargumen bahwa bukan dirinya yang bersalah dan cenderung menyalahkan pihak lainnya. Hal ini sudah umum terjadi.

Terlepas dari siapa yang benar dan salah, maka masing-masing akan mengungkapkan kebaikan yang telah dilakukan selama ini sehingga kurang bisa menerima sikap atau perlakuan dari pihak lainnya. Biasanya akan terjadi apa yang dalam istilah Balinya, “saling seluk,” yakni masing-masing akan mengungkapkan kebaikan yang telah dilakukan kepada pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.

Sumber  konflik

Dalam keseharian, sikap pamrih ini menjadi sumber konflik. Konflik yang saya maksudkan lebih bersifat emosional, khususnya pergulatan emosi yang terjadi pada orang bersangkutan yang tentu saja berpengaruh pada hubungan (komunikasi)-nya dengan orang lain, terutama dengan siapa dia berharap sesuatu namun tidak terpenuhi. Artinya keluh kesah seseorang kepada orang yang dimaksud lebih bersifat emosional yang tersulut ketika ada pemicunya. Misalnya saat yang bersangkutan bertemu dengan seseorang dan menyebut nama orang yang tidak disukai atau dibenci, maka ungkapan ketidaksenangan akan muncul.

Begitu pula dalam relasi orang tua–anak, terdapat juga unsur ‘pamrih’ nya. Sudah menjadi kewajiban orang tua merawat dan membesarkan anak. Harapannya tentu nanti si anak akan ingat dan sekaligus akan (sedikit tidaknya) memperhatikan orang tuanya kelak. Namun dalam sejumlah kasus ada anak-anak ketika sudah besar apalagi ketika mulai berumah tangga, lupa dengan orang tuanya karena sudah sibuk dengan keluarganya sendiri, meskipun tidak sedikit yang tetap perhatian sama orang tuanya.

Baca Juga :  Menggali Keunikan Komunikasi Anak Hasil Perkawinan Campuran

Pada fase inilah sikap pamrih itu muncul. Mungkin kita sering mendengar seperti berikut dari para orang tua, terutama ketika anak-anaknya sudah besar, atau malah sudah berkeluarga. 

“Dari kecil dibesarkan dan dirawat, tapi sekarang sama sekali tidak peduli dengan orang tuanya.”

Tentu sah-sah saja ketika orang tua berharap pada anaknya ketika nanti sudah besar, sedikit tidaknya anak-anak akan masih peduli dengan orang tuanya. Tetapi kenyataan berkata lain. Nah, disinilah ‘ungakapan’ sikap pamrih itu muncul. Ada semacam perasaan sakit hati ketika apa yang diharapkan (tentunya setelah berbuat banyak), tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dan jangan salah pula, sikap pamrih terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhannya. Saat seseorang mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, manusia lalu seperti merasa berhak untuk minta ini itu kepada Tuhan; minta kesehatan, minta kesuksesan, ataupun minta kesejahteraan (kekayaan). Itu biasanya tercermin dari doa-doa yang dipanjatkan. Doa memang dimaksudkan untuk memohon berkah dan itu sah-sah saja, namun ketika apa yang diminta tidak kunjung datang, biasanya disinilah sikap pamrih itu muncul.

“Gepe suba mebakti, sing ada hasilne….” (sudah cape sembahyang, tapi tidak hasilnya!)

Seseorang pernah mengatakan kepada saya, kita tidak perlu minta ini atau itu kepada Tuhan, cukup mengucapkan terimakasih atas apa yang telah dialami dalam kehidupan yang sudah dijalani.

Ditambahkan pula agar kita bisa mengurangi sikap pamrihnya, ada baiknya ketika kita membantu orang lain atau berderma, lakukan saja dan setelah itu lupakan dan tidak usah mengingat-ingat bahwa kita telah melakukan kebaikan. Cukup rasakan kenyamanan di dalam hati setelah membantu orang. Dan juga sebaiknya tidak berfikir apakah nantinya bantuan yang diberikan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Kalau tidak sreg, lebih baik tidak usah membantu supaya nantinya tidak panik sendiri, atau istilah Balinya, “ngrengkeng” di kemudian hari. Ngrengkeng menunjukkan situasi ketika tidak selarasnya antara pikiran dan perasaan. Kita berfikir untuk membantu, tetapi kita merasa khawatir nantinya bantuan yang diberikan disalahgunakan atau pikiran negatif lainnya. Karena kunci keharmonisan, khususnya diri sendiri adalah ketika selarasnya pikiran dan perasaan.

Riwayat Penulis :

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’  ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts