June 27, 2025
Opini

Nge-gossip Yuk

Ungkapan “Makin Digosok Makin Sip” sebagai singkatan dari ‘Gosip’ tidaklah terlalu meleset.

Ilustrasi

Ilustrasi

Nah, kali ini saya mencoba mengulas mengapa ‘nge-gosip’ sangat populer atau banyak dilakukan oleh orang, tidak hanya terbatas di kalangan anak kecil, tetapi juga di kalangan remaja, orang dewasa, bahkan dikalangan orang tua juga. Memang secara makna, ‘nge-gosip’ cenderung membicarakan kekurangan atau kejelekan seseorang karena dianggap lebih seru. Kenapa? Karena ketika membicarakan kebaikan seseorang, segalanya sudah selesai. Kalau sudah baik, apa lagi yang perlu dibicarakan. Kira-kira begitu.

Yang membuat gosip menjadi sesuatu yang seru adalah ‘bumbu-bumbu penyedap’nya, yang selalu diawali dengan ungkapan “Katanya” atau “Denger-denger”. “Katanya si anu mau cerai dengan istrinya, ya?, “Katanya si A sering mengalami kekerasan dalam rumah tangganya”, “Denger-denger dia sering pinjam duit di tetangganya……” Tentu masih banyak ‘katanya’ yang lain.

Berdasarkan sifatnya, saya hendak membagi gosip menjadi tiga:

  1. Mencari sekutu (Ngalih Ruwang – bahasa Bali). Ada kalanya seseorang mengajak yang lain untuk nge-gosip agar dia mendapat sekutu. Sederhananya, ketika seseorang benci/iri/tidak senang terhadap seseorang, maka yang bersangkutan akan selalu berusaha menceritakan kejelekan/kekurangan orang yang dibencinya kepada orang-orang yang ditemuinya/yang diajaknya ngobrol sehingga nantinya mereka akan terpengaruh untuk ikut benci juga (terlepas dari apa yang diceritakan itu benar apa tidak). Ada kepuasan tersendiri pada diri orang bersangkutan jika orang-orang atau teman-teman yang diceritakannya itu terpengaruh. Ini biasanya terjadi diantara mereka yang sudah saling kenal tentunya.

 

  1. Rahasia tapi umum. Saat dua orang atau sejumlah orang berkumpul, bisa saja yang digosipin teman/tokoh (politik)/selebriti yang topiknya bersifat umum tetapi menyangkut ‘wilayah pribadi’. Pembicaraannya biasanya tidak sengaja dan muncul begitu saja saat sejumlah orang ngumpul. Dan infonya biasanya bersifar ‘bocoran’ yang kemudian menyebar dari satu kelompok ke kelompok lain. Jenis yang kedua ini, saya kira tidak terlalu ‘gawat’, hanya bersifat ‘pemanis’ atau ‘mengakrabkan’.
Baca Juga :  Eks Ketua LPD Serangan Buka Suara Dugaan TPPU

 

  1. Berbagi Informasi (Sharing Information). Nge-gosip pada satu titik saya kira ada juga manfaatnya, terutama ketika sekelompok orang yang sedang nge-gosip itu membicarakan ‘pengalaman’ mereka yang sama yang dialami dengan orang yang dibicarakan, terutama pengalaman buruk tentunya. Contohnya, dahulu ada seorang teman saya, diminta oleh temannya yang katanya bekerja untuk sebuah NGO agar mengumpulkan data anak-anak keluarga kurang mampu dikampungnya. Temannya itu berjanji akan membantu mereka dengan perlengkapan sekolah (sepatu, tas sekolah, dan sebagainya). Teman saya itu tentu saja sangat senang karena memang dia sangat suka anak-anak dan senang melakukan pekerjaan sosial. Data-data pun berhasil dikumpulkan dan dikirim. Namun setelah lama ditunggu-tunggu ternyata semuanya hanya janji kosong. Setiap ditanyakan, selalu dibilang sedang diproses. Karena terus-terusan seperti itu teman saya itupun tidak pernah menanyakan lagi. Cuma dia penasaran, apakah data-data yang dia kirim diterima lalu diproses oleh NGO itu atau ditolak.

 

Setelah beberapa tahun berlalu, teman saya itupun bertemu dengan temannya yang bekerja untuk NGO tersebut dalam sebuah reuni. Setiap didekati diajak ngobrol oleh teamnnya yang ‘membohonginya’ itu, teman saya selalu menjauh karena trauma. Teman saya kemudian bercerita (kalau tidak bisa disebut nge-gosip) dengan teman-teman reuni yang lain tentang pengalamannya. Ternyata teman-teman yang lainnya pun mengalami pernah dibohongi walaupun konteksnya berbeda. Ada yang pernah uangnya dipinjam, tetapi tidak dikembalikan. Ada juga yang mengaku pernah termakan ‘bluffing’ nya, dan pengalaman-pengalaman lainnya.

Sampai ketika reuni berakhir, teman saya dibelikan tiket pesawat pulang oleh teman yang sempat membohonginya itu, diapun ragu-ragu. Dia sampai menunjukkan ke sejumlah temannya apakah tiketnya asli atau tidak, walaupun pada akhirnya teman saya terbang juga dengan memakai tiket tadi. Dia berfikir, mungkin temannya itu membelikannya tiket untuk menebus kesalahannya.

Baca Juga :  Penguatan Hukum Adat Melalui Penyuratan Awig-Awig

Adanya pengalaman (negatif) yang sama itu secara tidak langsung memberikan referensi kepada kita untuk bagaimana selanjutnya bersikap kepada orang bersangkutan.

Sekalipun gosip cenderung membicarakan sisi buruk orang lain, sebaiknya ketika kita sedang kumpul-kumpul, sebisa mungkin tidak membicarakan keburukan seseorang karena bisa saja terjadi, orang yang kita bicarakan keburukannya, tanpa sengaja membantu kita dengan tindakan, finansial atau informasi atau malah kita meminta bantuan kepadanya. Sehingga ketika suatu saat kita menerima bantuannya, kita tidak malu dalam hati karena sudah membicarakan keburukan orang tersebut. Orang bilang, malu pada diri sendiri, hukuman psikologisnya lebih berat dibandingkan rasa malu kepada orang lain. Malu pada diri sendiri sifatnya melekat, sedangkan malu kepada orang lain biasanya berkurang begitu kita tidak ada dihadapan orang-orang bersangkutan.

Demikian pula, terkait nge-gosip ini, ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau kita membicarakan orang di belakang (nge-gosip), kita pasti akan ada yang nge-gosipin. Jadi sebaiknya tidak nge-gosip. Sebaliknya ada juga yang berpendapat bahwa kita berbuat baik saja, ada saja yang tidak senang dan membicarakan kita di belakang, apalagi berlaku tidak baik; jadi apa salahnya nge-gosip.

Ya, memang masing-masing sikap terkait nge-gosip ini memiliki konsekwensi tersendiri, terutama di wilayah ‘emosi’. Tinggal tergantung nilai-nilai yang kita jadikan acuan dalam bersikap. Namun yang pasti, mesti diakui bahwa nge-gosip memberi warna dalam interaksi antar orang. Yang perlu diingat mungkin sebaiknya tidak membicarakan kejelekan orang, sebaiknya katakan hal-hal yang baik, kecuali memang ada pengalaman buruk dengan orang bersangkutan seperti kasus di atas.

Putu Semiada
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah sekolah bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts