October 28, 2025
Opini

Pandemi, Keluh Kesah dan Media Sosial

Gianyar-kabarbalihits

Selama hampir sebelas bulan pandemi berlangsung, jagad medsos di Bali dipenuhi dengan berbagai keluh kesah, terutama terkait kebijakan penguasa yang dianggap semakin membuat kehidupan ekonomi rakyat kebanyakan makin terhimpit. Puncaknya adalah dengan keluarnya Surat Edaran yang mewajibkan wisatawan yang datang ke Bali melalui udara melakukan SWAB Test dan yang lewat darat dengan Rapid Test (meskipun kemudian direvisi) yang berakibat pada penundaan perjalanan ratusan ribu wisatawan ke Bali dan mengakibatkan kerugian milyaran rupiah. 

Gelombang ‘keluh kesah’ pun terjadi lewat sejumlah postingan di medsos, sebagai cermin ‘keresahan’ masyarakat yang mengalami himpitan ekonomi. Kalau melihat konten postingan, keluh kesah ini adalah sebagai bentu ‘perlawanan’ sekaligus sebagai ‘sengatan psikologis’ terhadap pengambil kebijakan. Postingan disampaikan dengan aneka cara; ada yang lucu, sarkas, maupun pedas, begitu pula komentar-komentarnya.

Yang menarik adalah ‘keluh kesah’ itu hanya disuarakan oleh mereka yang sejak awal memang selalu bersuara terkait sejumlah kebijakan terkait pandemi. Banyak ‘keluh kesah’ tersebut tergolong ‘berani’ karena tidak segan-segan sampai menyebut nama. Bisa saja yang berkeluh kesah jauh lebih banyak, namun tidak mengungkapkannya di medsos, mungkin karena merasa kurang aman, enggan, pasrah atau karena ada kepentingan. Yang menarik adalah mengapa, sejumlah orang saja yang berani bersuara (baik di lapangan maupun medsos)?

Terkait hal ini saya mencoba membedahnya mengacu kepada pendapat seorang ahli bahwa kesadaran terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama adalah kepekaan, dan lapisan kedua adalah kemampuan untuk bertanya mengapa kita merasakan kepekaan emosi tertentu.  Untuk lapisan pertama ini seseorang perlu latihan dan waktu yang lama untuk sampai pada kepekaan terhadap suatu isu. Sering kali kepekaan itu tertutup oleh asumsi-asumsi umum yang biasa menghambat kepekaan manusia. Misalnya pada kasus demo/aksi yang murni tanpa kepentingan sekalipun, selalu dibayangi asumsi umum bahwa semua demo adalah bayaran atau ada yang menunggangi. Jadi yang awalnya memang tidak memiliki kepekaan terkait (terutama) isu sosial dan lingkungan misalnya, semakin terpuruk dengan ketidakpekaannya. Kalau kepekaan tidak ada, maka jangan harap ada empati..

Baca Juga :  Salam Dari Binjai

Untuk lapisan kedua, tanpa kemampuan bertanya mengapa, maka kita akan sulit mengerti maupun memahami akar masalahnya. Misalnya, mengapa ada kelompok masyarakat/orang yang turun ke jalan untuk membela sebuah Teluk, bahkan hampir selama tujuh tahun, dengan mengorbankan waktu, tenaga dan juga finansial tanpa diboncengi agenda jangka pendek (akses kapital maupun jabatan). Begitu pula mengapa ada komunitas yang rela berpanas-panas, belum lagi   harus berhadapan dengan aparat untuk menolak Rapid Test sebagai syarat administrasi. 

Jadi, jika seseorang untuk kesadaran tingkat pertama saja belum sampai, apalagi sampai pada lapisan kedua. Ini misalnya bisa kita intepretasikan dari ujaran-ujaran semacam, “Nak belog ajum”, “Sing ngelah gae”, “Kapahin demo pak, ngae jalan macet”, dan sebagainya ketika mereka melihat ada aksi/demo tanpa berusaha memahami esensi atau tujuan dari demo tersebut.

Kalau saya amati berdasarkan informasi maupun gambar menyangkut apa yang terjadi di luar, misalnya pada kasus-kasus demonstrasi yang terjadi di barat yang selalu diikuti oleh ratusan ribu orang terkait dengan pandemi ini, kalau boleh saya simpulkan bahwa perlu kepekaan dan empati yang tinggi untuk bisa memahami dan mungkin juga untuk terjun dalam setiap aksi, perlawanan, apapun namanya, terutama terkait isu-su sosal (kemanusian) dan lingkungan dan itu tidak banyak orang yang memilikinya. 

Disamping faktor kesadaran di atas, penyebab lainnya adalah bahwa dalam masyarakat komunal, kebanyakan merasa ‘risih’ untuk berbeda, karena takut ditertawakan atau dicemooh. Mereka lebih melihat apa yang dilakukan orang lain. Kalau lebih banyak yang melakukan, barulah mereka ikut. Dan itupun ketika tidak bersinggungan dengan kekuasaan. Ciri lainnya adalah mereka selalu percaya dan taat kepada  pimpinan formal. Sehingga mereka akan mencemooh/nyinyir kepada mereka yang melakukan pemikiran maupun tindakan yang berbeda dari orang kebanyakan. 

Perjuangan/aksi menolak Rapid dan SWAB Test memang tidak berhasil, dalam pengertian bahwa kedua test itu tetap diberlakukan sebagai syarat administrasi. Namun apa yang disuarakan sebelumnya akhirnya mendekati kenyataan dan dampaknya sangat berpengaruh pada perekonomian Bali, yang memang bertumpu pada pariwisata. Ya, nasi sudah menjadi bubur. Kalau boleh berandai-andai, coba lebih banyak yang berpartispasi dalam gerakan tersebut, tentu hasilnya akan lain. Dan kalaupun tetap tidak berhasil, minimal hal itu sudah pernah diperjuangkan.

Putu Semiada

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah sekolah bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’  ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’. (r)

Related Posts