
Indonesia Arbitration Week & Mediation Summit 2025, Hasilkan 11 Rekomendasi Penting untuk Penguatan Sistem Penyelesaian Sengketa Nasional
Denpasar-kabarbalihits
Setelah berlangsung selama empat hari sejak 5 November 2025, Indonesia Arbitration Week & Indonesia Mediation Summit (INAW & IMES) 2025 resmi ditutup pada Sabtu, 8 November 2025, dengan membawa hasil dan rekomendasi strategis bagi penguatan sistem penyelesaian sengketa di Indonesia. Acara bergengsi tingkat internasional ini menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu pusat penting dalam pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) di kawasan Asia Tenggara.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini sebelumnya secara resmi dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc, mewakili Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam sambutannya, Yusril menekankan pentingnya memperkuat sistem penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Menurutnya, mekanisme seperti arbitrase dan mediasi jauh lebih efisien, cepat, dan berbiaya ringan dibandingkan proses litigasi di pengadilan.
Ketua Panitia Prof. Dr. Drs. Made Sudjana, SH, MM, MBA, CPL, CPM, CPArb menyampaikan bahwa selama penyelenggaraan KTT, berbagai pakar dan praktisi dari dalam dan luar negeri turut berkontribusi dengan paparan ilmiah yang memperkaya wacana ADR, termasuk Prof. Sudjana dengan membawa materi “Produce and Shape Arbitrator Independent”. Narasumber lainnya adalah Ms. Dina Mary dengan materi “The Role of Mediators in the Resolution of Disputes Regarding Inheritance Based on Islamic Law at Medan Religious Court”, Prof. Sukino dengan “Peran Mediasi dalam Menciptakan Pendekatan Kolaboratif”, serta Mr. Savath Meas dari Kamboja yang membawakan “Access to Justice Through Alternative Dispute Resolution: A Comparative Analysis of ADR Systems in Cambodia and Indonesia.”
Selain itu, Mr. Abe Quadan, Presiden IADR Asia-Australia, menyoroti tren dan tantangan mediasi lintas negara dalam paparannya “Cross Border International Mediation Trends and Challenges: Comparative Study between Indonesia and Australia”. Arbiter asal Malaysia, Murshida MIMC, juga berbagi pengalaman melalui topik “The Malaysian International Mediation Center and Its Role in Shaping the Mediation Landscape in Malaysia.”
Menurut Prof. Sudjana, manfaat dari kegiatan ini sangat luas, dirasakan tidak hanya oleh peserta yang hadir secara langsung, tetapi juga oleh masyarakat umum melalui berbagai platform media seperti surat kabar, liputan televisi, Zoom Meeting, dan siaran langsung YouTube. “Seperti harapan Prof. Yusril Ihza Mahendra, konferensi ini telah menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat tentang pentingnya Alternatif Dispute Resolution (ADR) di era modern,” ujarnya.
Salah satu momen penting dalam acara ini adalah penganugerahan Indonesia Alternative Dispute Resolution Award, yang diberikan kepada 41 arbiter dan mediator berprestasi dari berbagai wilayah di Indonesia, serta 9 penghargaan internasional untuk tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam pengembangan ADR global.
Dari penyelenggaraan ini, forum menghasilkan 11 rekomendasi strategis untuk penguatan sistem ADR di Indonesia. Di antaranya adalah pembentukan International Mediator Working Group Indonesia–Malaysia, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta dorongan untuk penerbitan Undang-Undang tentang Mediasi, Konsiliasi, Ajudikasi, dan Arbitrase. Selain itu, forum juga mendorong ratifikasi Singapore Convention on Mediation, penyediaan ruang mediasi di setiap kantor kementerian dan pemerintah daerah, serta pendanaan bagi mediator pro bono oleh negara. Rekomendasi lainnya adalah pembentukan Indonesia National Supervisory Body on Arbitrator Code of Ethics dan penetapan INAW & IMES 2026 di Bandung, Jawa Barat, dengan Universitas Langlang Buana sebagai tuan rumah.
Dalam pidato penutupan, Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI), Prof. Sabela Gayo, SH, MH, Ph.D., CPL., CPCLE., ACIArb., CPM., CPC., CPA., CPArb., CPLi menegaskan bahwa acara ini memperkuat fondasi dan masa depan sistem arbitrase serta mediasi di Indonesia. “Tema ini mencerminkan komitmen kuat dan solidaritas semua pihak untuk memajukan penyelesaian sengketa yang lebih efisien dan berkeadilan. Hambatan terbesar kita adalah budaya dan pola pikir. Karena itu, kita harus mulai mengajarkan nilai-nilai ADR dari keluarga, tetangga, hingga lingkungan kerja,” ujarnya.
Dengan berakhirnya Indonesia Arbitration Week & Mediation Summit 2025, Indonesia menegaskan perannya sebagai pelopor pengembangan sistem penyelesaian sengketa modern di kawasan. Lebih dari sekadar konferensi, forum ini menjadi langkah nyata menuju budaya penyelesaian konflik yang lebih damai, efisien, dan berkeadilan sosial.(kbh2)


