
Indonesia Arbitration Week & Mediation Summit 2025: Menguatkan Budaya Penyelesaian Sengketa Damai Menuju Reformasi Hukum Nasional
Denpasar-kabarbalihits
Selama empat hari, dari 5 hingga 8 November 2025, Indonesia Arbitration Week & Indonesia Mediation Summit 2025 sukses digelar di Quest Hotel Denpasar. Kegiatan berskala internasional ini dibuka secara resmi oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc, yang ditugaskan langsung oleh wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka yang menegaskan pentingnya penguatan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif sebagai bagian dari reformasi hukum nasional.
Dalam sambutannya, Yusril menyebut bahwa penyelesaian konflik melalui musyawarah dan kesepakatan bersama kini menjadi tren hukum modern di berbagai negara. “Arbitrase dan mediasi bukan hanya cara yang lebih cepat dan efisien, tetapi juga lebih berkeadilan dan berorientasi pada keharmonisan,” ujarnya. Pemerintah, lanjut Yusril, menempatkan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai salah satu pilar utama reformasi hukum, sejalan dengan arah kebijakan Presiden menuju sistem hukum yang berintegritas, pro-investasi, dan memberikan akses keadilan bagi semua.
Prof. Yusril menegaskan bahwa penguatan arbitrase dan mediasi bukan sekadar agenda teknis, tetapi strategi besar untuk mewujudkan reformasi hukum menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah berkomitmen mempercepat digitalisasi layanan hukum, termasuk pengembangan Online Dispute Resolution (ODR) agar akses keadilan dapat menjangkau hingga pelosok daerah.
“Melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi hukum, kita membangun kepercayaan publik terhadap hukum nasional, hukum yang tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga menjaga harmoni dan martabat kemanusiaan,” pungkasnya.

Ketua Panitia, Prof. Dr. Drs. Made Sudjana, S.H., M.M., M.B.A., C.P.L., C.P.M, menjelaskan bahwa dua hari pertama (5–6 Oktober) difokuskan pada topik arbitrase, diisi oleh presentasi para pakar nasional dan internasional, serta penyerahan piagam kepada arbiter berprestasi. Sedangkan pada 7–8 Oktober, pembahasan beralih ke dunia mediasi, membahas konsep, fungsi, hingga perkembangannya di Indonesia dan dunia.
“Peserta yang hadir secara langsung sekitar 200 orang, sementara peserta daring mencapai lebih dari 500 orang. Ini menunjukkan antusiasme yang luar biasa terhadap isu arbitrase dan mediasi,” kata Prof. Sudjana. Ia menambahkan bahwa melalui kegiatan ini, peserta memperoleh pemahaman komprehensif tentang ADR sebagai solusi penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang efektif dan manusiawi.
Ketua Dewan Sengketa Indonesia (DSI), Prof. Sabela Gayo, SH, MH, Ph.D., CPL., CPCLE., ACIArb., CPM., CPC., CPA., CPArb., CPLi menekankan bahwa kegiatan ini menjadi wadah berbagi pengalaman antarpraktisi mediasi, konsiliasi, adjudikasi, dan arbitrase di Indonesia. Menurutnya, keberadaan mediator tidak akan mengurangi peran advokat, melainkan justru memperkuat kerja sama antarprofesi hukum.
“Advokat tetap dapat mendampingi klien dalam proses mediasi. Dengan kebijakan yang mendorong musyawarah terlebih dahulu sebelum gugatan ke pengadilan, profesi hukum justru semakin dibutuhkan untuk memastikan proses mediasi berjalan adil,” ujar Sabela.
Ia menilai pola penyelesaian sengketa melalui mediasi memberikan tiga keuntungan utama, yakni lebih cepat, lebih murah, dan lebih harmonis. Penyelesaian dengan damai menjaga hubungan baik antarpihak, berbeda dengan proses litigasi yang kerap menyisakan luka sosial.
Selain itu, Prof. Sabela juga menyoroti pentingnya peran mediator bersertifikat dalam penerapan restorative justice yang kini dikembangkan oleh kepolisian dan kejaksaan. “Mediator profesional perlu diberi ruang untuk berperan dalam memulihkan hubungan antara pelaku dan korban dalam kasus pidana ringan,” tambahnya.
Dari kancah internasional, Ibrahim Quadan, President of Asian International Dispute Resolution Association, menilai bahwa praktik mediasi di Asia kini tengah tumbuh pesat. Meski dianggap baru secara formal, semangat mediasi sebenarnya telah lama hidup dalam budaya hukum adat Indonesia dan Asia. “Selama berabad-abad, masyarakat telah menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. Kini, kita hanya memperkuatnya dalam kerangka hukum modern,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia berada pada jalur yang tepat dengan hadirnya regulasi dan inisiatif seperti Singapore Convention on Mediation, yang memperkuat posisi Asia sebagai pusat baru penyelesaian sengketa global. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sistem hukum modern dan praktik adat, agar keadilan dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, tanpa memandang status ekonomi.(kbh2)


