
Keluarga Korban Pertanyakan Kematian Warga Australia Byron Haddow di Bali, Soroti Kejanggalan Otopsi
Badung-kabarbalihits
Kasus kematian Byron James Dumschat atau Byron Haddow di sebuah vila di Bali kian menuai tanda tanya. Keluarga menuding adanya kejanggalan serius, mulai dari keterlambatan penyelidikan polisi, saksi yang dibiarkan pulang, hingga organ jantung korban yang ditahan saat pemulangan jenazah ke Australia.

Misteri kematian warga negara Australia, Byron James Dumschat atau dikenal sebagai Byron Haddow, di sebuah vila kawasan Bali pada 26 Mei 2025, terus menuai sorotan tajam. Melalui kuasa hukum dari Malekat Hukum Law Firm, keluarga korban mempertanyakan kinerja kepolisian serta prosedur medis yang dinilai penuh kejanggalan.
Kuasa hukum keluarga, Bayu Pradana, dalam konferensi pers Rabu (24/9/2025) di Tibubeneng, Badung, mengungkapkan hasil otopsi RSUP Prof. Ngoerah Denpasar menemukan adanya memar, pendarahan, dan trauma pada kepala korban. Namun, temuan medis itu dinilai tidak sejalan dengan penjelasan sederhana bahwa korban hanya ditemukan di kolam renang.
“Masih belum jelas apakah korban dinyatakan meninggal di lokasi kejadian atau di rumah sakit. Fakta ini semakin menimbulkan dugaan adanya kematian yang tidak wajar,” ujar Bayu Pradana bersama Founder Malekat Hukum, Ni Luh Arie Ratna Sukasari.
Keluarga juga menyoroti keterlambatan polisi yang baru bergerak empat hari setelah kematian korban, yakni pada 30 Mei 2025, setelah adanya desakan keras. Lebih jauh, tiga saksi warga Australia yang berada di vila saat kejadian berinisial BPW, KP, dan JL, dibiarkan meninggalkan Bali tanpa pemeriksaan.
“Tanpa interogasi dan tanpa keterangan, ketiganya justru diizinkan pulang. Ini menambah keraguan terhadap proses penyelidikan,” tegas Bayu.
Kasus ini semakin kontroversial ketika orang tua korban, Robert Allan Haddow dan Chantal Maree Haddow, mendapat kabar mengejutkan dari The Queensland Coroners Court, bahwa jantung putra mereka ditahan di Bali tanpa sepengetahuan maupun persetujuan keluarga.
Fakta itu baru terungkap setelah jenazah dipulangkan ke Australia hampir empat minggu pasca kematian. Bahkan, pengembalian jantung baru dilakukan pada 11 Agustus 2025, setelah keluarga membayar biaya tambahan sekitar AUD 700.
“Klien kami tidak hanya kehilangan anaknya, tapi juga diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka berhak atas penjelasan yang jujur dan diperlakukan dengan hormat,” tegas Bayu.
Keluarga menilai aparat penegak hukum wajib menelusuri aliran dana korban sebelum kematian, memeriksa rekaman CCTV secara forensik, serta meminta keterangan dari saksi-saksi yang telah meninggalkan Indonesia.
Mereka juga mendesak RSUP Prof. Ngoerah memberikan klarifikasi terbuka terkait prosedur medis, khususnya pengangkatan dan penahanan organ jantung korban.
“Ini bukan sekadar kasus keluarga kami, tapi juga menyangkut etika, hukum, dan kemanusiaan. Transparansi dari polisi dan pihak rumah sakit mutlak diperlukan agar publik tetap percaya pada institusi hukum dan medis di Indonesia,” pungkas Bayu. (kbh1)


