
Ida Pandita Dukuh Celagi Daksa Dharma Kirti Rilis Buku Kedua “Bhaerawa Jnana”, Meluruskan Persepsi Negatif tentang Ajaran Bhaerawa
Klungkung-kabarbalihits
Upaya memberikan pemahaman yang lebih jernih tentang ajaran Bhaerawa kembali dilakukan oleh Ida Pandita Dukuh Celagi Daksa Dharma Kirti melalui karya terbarunya berjudul Bhaerawa Jnana. Buku ini menjadi tindak lanjut setelah karya pertamanya, Bhaerawa adalah Jalanku, mendapat sambutan positif dan diminati banyak kalangan.
Sebagai seorang praktisi Bhaerawa, Ida Dukuh Celagi sangat memahami esensi ajaran serta teknik meditasinya. Ketika ditemui di Pasraman Sri Taman Ksetra, Desa Pikat, Klungkung, Minggu (24/8), beliau menuturkan bahwa dalam buku keduanya ini dikupas secara mendalam tentang makna serta simbol-simbol yang digunakan para sadaka (penganut) Bhaerawa pada masa lampau.
“Di zaman sekarang, ada pergeseran dalam penggunaan sarana yang sering dianggap terlalu ekstrem. Padahal, simbol-simbol itu bisa digantikan dengan bentuk yang lebih sederhana namun tetap bermakna. Misalnya, tulang diganti dengan kayu yang sudah terbakar, atau tengkorak diganti dengan kelapa maupun kerang yang disucikan,” jelasnya.
Lebih jauh, Bhaerawa Jnana menegaskan bahwa inti dari ajaran Bhaerawa adalah konsep pembebasan. Konsep ini menekankan pada kemampuan seorang sadaka untuk melepaskan tiga ikatan utama, yaitu ilusi, ego, dan ketakutan. “Ketika seseorang mampu membunuh ilusi, ego, dan ketakutan, maka ia akan berjalan bebas tanpa ikatan. Artinya tanpa rasa takut, tanpa keterikatan pada ilusi, dan tanpa terbelenggu ego,” ungkap Ida Dukuh Celagi.
Sayangnya, pemahaman masyarakat umum selama ini kerap melenceng. Ajaran Bhaerawa sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif, bahkan dianggap sesat. Pandangan tersebut, menurut Ida Dukuh, muncul akibat proses panjang “pembunuhan karakter” terhadap ajaran ini. “Dulu, ajaran Bhaerawa sering dicap buruk, akhirnya orang takut mendalami, bahkan meninggalkannya,” tambahnya.
Melalui buku ini, Ida Dukuh Celagi berharap masyarakat membuka pikiran, tidak sekadar menilai dari cerita atau stigma. “Kalau masih ragu, silakan datang, atau minimal bacalah bukunya. Jangan pernah mengatakan orang lain itu jelek sebelum benar-benar memahami isi ajarannya,” pesannya.
Hal menarik lainnya, menurut Ida Dukuh Celagi, ajaran Bhaerawa bukanlah sebuah agama, melainkan jalan atau filsafat yang bisa diikuti siapa saja. Karena itu, pengikut ajaran ini tidak hanya berasal dari Hindu. “Bhaerawa adalah ajaran, bukan agama. Siapapun boleh mengikuti. Namun, kalau karma seseorang tidak terkait dengan ajaran ini, mungkin ia tidak akan pernah bertemu dengan Bhaerawa,” tuturnya.
Ida menambahkan, meski jarang dipahami, Bhaerawa sejatinya memiliki nilai universal yang sejalan dengan ajaran besar dalam Hindu, seperti Panca Sradha yang mengajarkan tentang moksa atau pembebasan.
Untuk memperkenalkan lebih jauh isi buku ini, Yayasan Sri Chandra Baerawa bersama Rumah Semesta akan menggelar launching dan bedah buku “Bhaerawa Jnana” pada Sabtu, 30 Agustus 2025, pukul 14.00 WITA di Pasraman Sri Taman Ksetra, Desa Pikat, Klungkung.
Ketua panitia acara, Jro Mangku Wisnu Artha, menjelaskan bahwa tujuan kegiatan ini adalah memberi sudut pandang berbeda kepada masyarakat. “Selama ini ajaran Bhaerawa selalu dipandang negatif. Padahal sejatinya, Bhaerawa adalah jalan untuk membebaskan diri. Lewat buku ini, masyarakat bisa mendapatkan gambaran yang lebih jernih,” ujarnya.
Acara tersebut juga akan menghadirkan sejumlah sulinggih yang akan memberikan tanggapan dan pandangannya terkait ajaran Bhaerawa, sehingga diharapkan mampu membuka dialog yang sehat dan bermanfaat.
Buku Bhaerawa Jnana nantinya dapat diperoleh melalui Rumah Semesta yang menjadi mitra distribusi. “Kami ingin buku ini bisa diakses lebih luas, sehingga masyarakat tidak hanya mendengar stigma negatif, tapi bisa memahami langsung dari sumbernya,” imbuh Jro Mangku Wisnu Artha.
Ida Pandita Dukuh Celagi Daksa Dharma Kirti menutup perbincangan dengan pesan reflektif. Menurutnya, sejak dulu ajaran Bhaerawa berada di posisi paradox, yakni dibenci, tetapi dicari, ditakuti, namun dicintai. Banyak orang sebenarnya tertarik, namun rasa takut akibat stigma membuat mereka menjauh.
“Banyak yang hanya mendengar cerita buruk, lalu ikut-ikutan menjelekkan, tanpa pernah tahu apa yang sesungguhnya diajarkan. Melalui Bhaerawa Jnana, saya ingin membuka tabir itu. Semuanya dijelaskan dengan gamblang agar masyarakat bisa menilai dengan pikiran terbuka,” tegasnya.
Dengan terbitnya buku ini, diharapkan ajaran Bhaerawa tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang gelap atau menakutkan, melainkan sebagai jalan spiritual yang menekankan pembebasan diri dari ilusi, ego, dan ketakutan.(kbh2)