
Satu-Satunya Dalang Wanita Dari Sulangai Tampil di PKB XLVII
Denpasar-kabarbalihits
Dalang wanita dari Sanggar Seni Wayang Kulit Parwa Bendu Samara, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, mencuri perhatian para pengunjung saat tampil dalam Utsawa (Parade) Wayang Kulit yang digelar Selasa malam (15/7/2025) di Depan Gedung Kriya, Taman Budaya Art Center, Denpasar.
Duta seni dari Kabupaten Badung ini menjadi satu-satunya wanita yang menjadi dalang membawakan kisah pewayangan klasik pada ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47.
Diiringi alunan gender klasik khas Sulangai, sang dalang bernama Ni Luh Gede Anik Darmayanti (20 th) membawakan cerita tentang gugurnya Prabu Salya dalam perang besar Baratayudha yang berjudul ‘Pralaya Senopati Salya’. Penampilan ini tidak hanya menjadi wujud pelestarian budaya, tetapi juga bukti peran penting perempuan dalam kesenian tradisi yang selama ini didominasi laki-laki.
Saat ditemui sebelum pementasan, Ketua Sanggar Seni Wayang Kulit Parwa Bendu Samara, Nyoman Setiawan mengatakan, pertunjukan wayang kulit ini melibatkan 8 seniman muda berusia dari 13 sampai 30 tahun, yang terdiri dari 1 Dalang, 3 Ketengkong (penyuara atau pengiring dialog dalam wayang), dan 4 penabuh.
Dipilihnya seorang wanita menjadi dalang pada parade wayang kulit ini karena dipandang adanya potensi terhadap generasi muda yang patut ditunjukkan ke publik, terlebih dalang wanita muda jarang dijumpai di Bali sehingga pertunjukan wayang kulit ini menjadi hal yang unik dalam dunia seni wayang.
“jadi ingin menampilkan potensi dalang wanita. Kami di Sulangai, Badung pada umumnya itu punya potensi dalang wanita,” jelasnya.
Kehadiran kesatuan seni dalang wanita bersama tabuh gender pun diharapkan dapat menginspirasi generasi muda untuk tetap mencintai dan mengembangkan kesenian wayang kulit Bali.
“jadi generasi kedepannya masih bisa mendengar tabuh wayang, parwa, yang sifatnya klasik tidak lekang oleh jaman,” harapnya.
Sementara dalang wanita Ni Luh Gede Anik Darmayanti menyampaikan, dirinya bisa tampil dalam Utsawa Wayang Kulit karena ditunjuk oleh Dinas Kebudayaan Badung untuk mewakili duta seni Kabupaten Badung serangkaian ajang PKB ke 47 Tahun 2025.
Anik mengaku telah berlatih selama 4 bulan dan menemui kendala saat berlatih teknik pendalangan, salah satunya pada teknik mencari suara tokoh wayang dan tahap penghafalan cerita yang menggunakan bahasa kawi.
“sulit menghapal cerita, entah itu bahasa kawi, bahasa Bali halus, bahasa Bali kasar, campur. Berlatih kurang lebih 4 bulan, yang dibimbing oleh orang tuanya termasuk dari Listibiya Badung,” katanya.
Yang memotivasi dirinya menjadi dalang adalah merasa memiliki potensi dan ditemani oleh Ketengkong wanita. Baginya kebanyakan orang tidak tertarik menjadi dalang karena kesulitan dalam menghafalkan cerita.
“semoga kedepannya lebih banyak dalang wanita yang pentas disini,” harap Anik.
Pementasan yang berdurasi lebih dari dua jam ini membawakan cerita, ‘Pralaya Senopati Salya’ yang mengangkat bagian dramatis dari kisah Mahabharata, yakni ketika Prabu Salya diangkat menjadi senopati pihak Kurawa untuk menghadapi Pandawa.
Cerita ini sarat dilema dan ketegangan emosional karena Prabu Salya harus bertarung melawan keponakannya sendiri, Nakula dan Sahadewa, yang berada di pihak Pandawa. Meskipun Salya sadar akan konflik batin yang ia hadapi, perang tetap tidak dapat dihindari.
Yang membuat lakon ini semakin menarik adalah penggambaran kesaktian Candrabirawa milik Prabu Salya. Dikisahkan, setiap tetes darah yang jatuh dari tubuhnya akan berubah menjadi raksasa. Hal ini membuat pihak Kurawa semakin percaya diri, yakin bahwa Pandawa tak akan mampu menang.
Namun, strategi perang berubah saat panah Arjuna menghujam tubuh Salya, menyebabkan darahnya memercik ke tanah dan menciptakan banyak raksasa yang turut menyerang.
Dalam situasi genting ini, Prabu Kresna muncul memberikan jalan keluar. Ia menyampaikan bahwa hanya manusia berdarah putih yang mampu mengalahkan kesaktian Candrabirawa. Sosok itu adalah tiga orang pilihan, yakni Subali, Rsi Bagaspati (guru dari Salya), dan Prabu Darmawangsa.
Puncak cerita terjadi saat Prabu Darmawangsa turun ke medan perang dan berhadapan langsung dengan Prabu Salya. Dengan menggunakan ajian Kalimosada, akhirnya Prabu Darmawangsa berhasil mengalahkan Prabu Salya di medan Kurusetra. (kbh1)