Prof. Wisnumurti : Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada Menjadi Pendidikan Politik Kurang Baik
Denpasar-kabarbalihits
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Warmadewa, Prof. Dr. Drs. Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, M.Si, memberikan pandangannya mengenai fenomena “kotak kosong” dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurutnya, fenomena ini menjadikan kurang baiknya pendidikan politik di masyarakat, terutama dalam konteks sistem demokrasi.
Dalam penjelasannya, Prof. Wisnumurti menekankan bahwa proses pencalonan kepala daerah dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Untuk mengajukan pasangan calon, partai politik harus memiliki minimal 20% perolehan kursi di DPRD. Jika partai tidak mencapai ambang batas tersebut, mereka bisa berkoalisi dengan partai lain. Namun, muncul fenomena di mana terbentuk koalisi besar yang hanya memungkinkan satu pasangan calon memenuhi persyaratan, sehingga menghadapi kotak kosong.
“Fenomena kotak kosong ini kurang baik dari sisi pendidikan politik, karena dalam demokrasi, kebebasan untuk menjadi calon dan diusung sebagai calon adalah bagian dari prinsip dasar demokrasi,” ujar Prof. Wisnumurti. Ia menambahkan, meskipun hanya ada satu paket calon, demokrasi tetap harus dijalankan. Fenomena serupa pernah terjadi di Bali lima tahun lalu.
Prof. Wisnumurti juga menyoroti pentingnya peran partai politik dalam mengusung pasangan calon. Menurutnya, partai politik memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan kaderisasi, rekrutmen politik, sosialisasi politik, dan pendidikan politik. “Fungsi partai politik harus dioptimalkan agar tidak kekurangan calon pemimpin yang bisa memimpin,” tegasnya.
Dalam konteks Pilkada, Prof. Wisnumurti menekankan bahwa ada tiga modal utama yang harus dimiliki oleh calon kepala daerah. Pertama, modal politik atau dukungan dari partai politik. Kedua, modal sosial, yaitu aksesibilitas calon di tengah masyarakat. Dan ketiga, modal ekonomi, mengingat biaya politik dalam melaksanakan kegiatan politik sangat mahal.
“Biaya politik tidak hanya mencakup penyelenggaraan, tetapi juga biaya bagi calon yang akan diusung,” jelas Prof. Wisnumurti. Dalam hal ini, partai politik biasanya mempertimbangkan tiga aspek tersebut, yang dapat menyebabkan dinamika politik seperti perubahan pasangan calon, batalnya deklarasi, atau mundurnya calon secara tiba-tiba.
Prof. Wisnumurti juga memperkenalkan konsep yang ia sebut sebagai “Teori Trisula”, yang dianggap sangat relevan dalam proses Pilkada. Teori ini menyoroti pentingnya strategi matang bagi calon kepala daerah yang ingin berkompetisi dalam Pilkada. (kbh2)