Volume Musik Club Malam 70 dB, Warga Berawa Rasakan Perubahan
Badung-kabarbalihits
Pasca beredarnya petisi terkait polusi kebisingan di sosial media, tokoh masyarakat bersama pengusaha, dinas terkait, dan Satpol PP telah melakukan pertemuan dan menyepakati beberapa poin bagi pelaku usaha hiburan malam di Canggu.
Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana menyampaikan, seiring berjalan pandangan plus minus akan muncul, dengan melewati kondisi stagnan dua setengah tahun saat pandemi mewabah, dipastikan saat ini wilayah Berawa bergeliat.
Dimana sebelumnya saat pandemi pihaknya menerima keluhan dari warga karena situasi sepi, dan kini keluhan diterima terkait kebisingan yang terjadi di wilayah adat setempat, terlebih bertambahnya tempat hiburan malam.
“Sekarang dikeluhkan terlalu ramai, terlalu bising. Dulu dua setengah tahun sepi sekali juga mengeluh. Sekarang adanya keramaian baik dari pengunjung atau dari musik sejatinya ada kebisingan. Nah kebisingan ini telah kita antisipasi lewat rapat di Provinsi dihadiri oleh semua pihak,” kata Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana di kediamannya (23/9/2022).
Disebutkan hasil kesepakatan tersebut mengenai standar volume musik hanya sebesar 70 dB (desibel). Menurutnya keluhan kebisingan dari warga tidak terjadi pada kali ini saja, dari tahun-tahun sebelum pandemi juga kondisinya sama.
Dengan kerasnya volume musik di Finns Club yang mengganggu lingkungan sekitar, dan sekarang ditambah adanya Atlas Beach Fest, melalui kesepakatan yang dihasilkan kini warga pendamping maupun pengunjung villa sekitar telah merasakan perubahan.
“Walaupun begitu kita mengantisipasi dengan persuasif mendekati tim musik di finns. Sekarang ada hasil rapat kesepakatan di pihak Atlas di Berawa itu sudah luar biasa ada perubahannya,” jelas Jero Bendesa.
Sepengetahuan Jero Bendesa Ketut Riana, pembuat petisi kebisingan bukanlah warga pendamping yang berjumlah 32 KK, melainkan warga diluar Kabupaten Badung. Baginya petisi tersebut dianggap sebagai vitamin untuk warga setempat, dan pihaknya akan terus bergerak tertuju pada objek pembuat kebisingan.
“Kecuali ada event-event yang tertentu memang harus ada musik lebih ramai dan besar, itupun sudah disepakati dengan perangkat desa lainnya dan sudah kami antisipasi,” ujarnya.
Menurutnya, ada beberapa Club malam di Berawa yang dinilai bervolume musik melewati ambang batas pendengaran.
“Ada Finns, Morabito, Legong Keraton, itupun sudah kami adakan koordinasi dan kami memediasi. Ada juga Atlas dan Tamora,” katanya.
Kembali dijelaskan, sebelum Atlas buka pada bulan Juli 2022, pihaknya telah mengantisipasi dengan beberapa aturan yang berlaku di wilayah setempat, seperti pengalihan arus lalu lintas.
“Dimana jalan Sri Kahyangan rencana kami jadi satu arah, hanya boleh ke timur menuju Subak Sari,” jelasnya.
Kemudian pada jam buka malam bagi Beach Club Out Door maksimal sampai pukul 24.00 Wita dan tenggang hingga tidak ada pengunjung sampai pukul 01.00 Wita. Sedangkan Club Indoor diperbolehkan buka hingga pukul 03.00 Wita.
“Dimana setelah kami uji ulang, kami sosialisasi ternyata itu sudah persis dengan apa yang ada dalam perda di Kabupaten Badung dan Pergub Provinsi Bali,” terangnya.
Mengurai kemacetan yang terjadi saat akhir pekan maupun adanya event besar, Desa Adat Berawa bersama pihak Atlas juga menyediakan kantong parkir seluas 1 hektar yang dibagi menjadi 2 tempat.
Sementara General Manager Atlas, Albert Sondang Parulian Purba mempertanyakan asal petisi yang ditandatangani 20 ribu orang tersebut. Sebab pihaknya mengaku telah mencoba berkoordinasi terhadap pembuat petisi tersebut, hingga kini tidak ditanggapi.
Menanggapi dari isi petisi tersebut, dikatakan dari awal sebelum Atlas berdiri pihaknya telah menerima arahan dari Pemerintah setempat untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku di Desa Tibubeneng khususnya wilayah Adat Berawa.
“Dengan demikian kami mengikuti sesuai dengan arahan dari Pemerintah disini, itu termasuk dengan suara, keramaian, dan yang lain,” ucap Albert Purba didampingi Humas Atlas, Alwine saat ditemui di Atlas Beach Fest (23/9/2022).
Untuk jam akhir buka, pihak Atlas telah mengikuti aturan hanya buka sampai jam 12 malam. Serta batas maksimal suara juga telah diikuti sesuai ketentuan.
“Pemerintah setempat juga datang ke tempat kami untuk pengecekan. Dari area atas seberapa dan diluar Atlas juga seberapa. Dari hasil pengecekan itu sudah sesuai dengan aturan yang sudah ada di Tibubeneng ini,” lanjutnya.
Hingga saat ini pihaknya tidak menerima keluhan yang sangat mengganggu dari warga pendamping. Sebab pihak Atlas sangat peduli dengan warga pendamping dan melakukan upaya koordinasi dengan baik.
Lainnya, Atlas telah mendapatkan solusi mengenai pengurai kemacetan, yakni Atlas telah memiliki 3 kantong parkir yang bisa menampung ribuan mobil dan Motor pengunjung.
“Saya rasa hal tersebut juga sudah menjawab keluhan daripada warga setempat,” ujarnya.
Namun keberadaan Atlas di Desa Tibubeneng juga dipandang sebagai pendorong ekonomi dari warga setempat. Karena halaman rumah warga juga bisa dijadikan kantong parkir dan mendapatkan pemasukan.
Dengan baru dibukanya Atlas beberapa bulan lalu, event mingguan belum bisa dilaksanakan pihak Atlas, hanya baru tahap kegiatan event tiap bulan.
Event bulanan ini juga dipastikan sepengetahuan pihak Bendesa Adat dan Pemerintahan setempat berkaitan dengan perijinan.
“Kembang api itu kita lakukan saat event saja. Itu juga minta perijinan dari pemerintah setempat untuk ada kembang api, cuma berlangsung 1 menit dan dibagi 3,” katanya.
Ditambahkan, Atlas jangan dipandang dari sisi negatif semata, secara positif juga mampu membangkitkan ekonomi bagi warga lokal khususnya wilayah Berawa, Tibubeneng, sampai Kuta Utara.
“Karena karyawan disini juga sampai ke Kuta Utara kita pekerjakan disini, itu sebenarnya yang lebih penting,” imbuhnya.
Sebelumnya petisi kebisingan tersebut viral di media sosial dan ditujukan pada sejumlah pihak, termasuk Presiden Joko Widodo, Gubernur Bali I Wayan Koster, Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, dan beberapa pemangku kepentingan lainnya. (kbh1)