Tanahnya Diserobot PT.BTID, Ipung Akan Ajukan Gugatan ke PN Denpasar
Denpasar-kabarbalihits
Polemik pengaspalan jalan di lingkar timur Serangan hingga kini belum tuntas. Pemilik lahan ahli waris dari Daeng Abdul kadir dan Maisarah yakni Siti Sapurah membawa dokumen lengkap tanah miliknya di Serangan agar disesuaikan pihak BPN Kota Denpasar.
Penyesuaian data lahan tersebut juga disaksikan Lurah Serangan dan beberapa prajuru Desa Adat Serangan diatas lahan milik Siti Sapurah yakni areal Jalan Tukad Punggawa, Serangan, Denpasar Selatan (26/8/2022).
Siti Sapurah akrab disapa Ipung ini mempertanyakan tanahnya yang di sertifikatkan HGB (Hak Guna Bangunan) oleh PT BTID (Bali Turtle Island Development) sebagai dasar klaim kepemilikan tanah.
Ipung mengajukan keberatan ke pihak BPN setelah menerima penjelasan dari Walikota Denpasar pada bulan Juni 2022, bahwa tanah yang dimaksud bukan berdasarkan SK Walikota Tahun 2014, melainkan berdiri diatas Hak Guna Bangunan Induk Nomor 41 Tahun 1993 (Hak Guna Bangunan Nomor 81, Nomor 82, dan Nomor 83) atas nama PT BTID.
“Saya mengajukan keberatan ke BPN, keberatan saya adanya HGB 81, 82, 83 diatas tanah saya. Bagaimana ceritanya? Tanggal 29 juli 2022 saya diundang BPN secara resmi dengan prihalnya mengklarifikasi data. Saya bawa semua dokumen 15 putusan asli, dari tahun 74 sampai tahun 2020. Semua putusan itu mengatakan tanah ini milik Daeng Abdul Kadir atau ahli warisnya,” ungkap Ipung dihadapan media.
Dalam penyesuaian data lahan tersebut, Ipung juga membawa fotocopy surat pipil 1 hektar 12 are dan dan pajak tanah seluas 2 hektar 14 are, serta foto peta gambar tanah yang ditunjukkan ke pihak BPN.
Setelah pihak BPN melihat dokumen yang sah, dan membenarkan Ipung sebagai pemilik sah secara dokumen, BPN menyampaikan hal yang penting kepada dirinya. Yakni, Hak Guna Bangunan Nomor 81, Nomor 82, dan Nomor 83) atas nama PT BTID adalah pecahan dari HGB Nomor 4 yang diterbitkan bulan Juni 1993 dan akan berakhir 30 tahun kedepan yang jatuh pada bulan Juni 2023.
“Bagaimana ceritanya, kenapa dijadikan 81,82,83. Jadi untuk mengaburkan HGB Nomor 4, akhirnya pada Tahun 2016 dan 2017 pihak BTID pernah mengatakan ada tanah ex eksekusi berdasarkan SKMLH Tahun 2015 Nomor: SK.480/Menlhk.Setjen/2015 tertanggal 3 Nopember 2015, maka itu Tahun 2016 dan 2017, HGB Nomor 4 yang awalnya diterbitkan Juni 1993 dipecah untuk menutupi HGB Nomor 4. Sekarang siapa yang berbohong?,” tanya Ipung.
Ipung menduga adanya mafia tanah yang bermain dalam polemik ini. Dipandang ada kejanggalan karena tanahnya bisa di HGB selama 30 Tahun tanpa konfirmasi kepada keluarganya dan ahli warisnya sebelum Ipung.
“Bahkan saya yang memegang sertifikat dari dulu dan tidak ada yang tahu sampai sekarang. Berarti tanah ini ‘sengaja dicaplok’ oleh pihak-pihak tersebut, berarti dialah yang menikmati kompensasi selama 30 tahun. Ini yang akan saja kejar nanti di pengadilan,” pungkasnya.
Kembali dijelaskan tanah lingkar yang terdapat di berita acara penyerahan lahan untuk tanah atas sebagai jalan, dari PT BTID sebagai pihak pertama dan kepada desa adat sebagai pihak kedua, adalah tanah lingkar dari pintu masuk Pulau Serangan depan jembatan, melingkar di tepi Pulau Serangan di jalan tanah yang diurug sebagai jalan sampai berhenti di penangkaran penyu yang panjangnya 2 hektar 115 Km merupakan jalan lingkar. Maka menjadi pertanyaan besar bahwa jalan lingkar bisa lompat ke areal tanah miliknya.
Selanjutnya, Ipung menantang pihak yang telah menyerobot tanah miliknya dan akan dilayani hingga ke tingkat Mahkamah Agung.
“Ambilah tanah saya jika kalian bisa batalkan putusan sampai Mahkamah Agung, itu permintaan saya dan itu tantangan saya untuk BTID,” tegasnya.
Meski demikian, Ipung masih berpikir positif untuk BPN Kota Denpasar, yakni ingin menyelesaikan secara kekeluargaan.
“Oke saya akan ikuti. Karena saya sudah terlanjur bersurat pada tanggal 16 Juni 2022, tahapan saya akan ikuti, tetapi jika deadlock, saya akan terpaksa mengajukan gugatan ke PN Denpasar atau tidak menutup kemungkinan saya akan ajukan penyerobotan atas tanah dengan Pasal 385 KUHP,” imbuhnya.
Sementara, Bendahara Desa Adat Serangan, I Nyoman Kemu Antara mengatakan terbentuknya areal jalan diperkirakan pada Tahun 2005, dimana sebelumnya jalan belum diaspal. Dikatakan di kawasan tanah milik Ipung kondisinya masih terputus.
“Sehingga untuk menyambung terbentuknya jalan lingkar, desa membentuk tim pembuatan jalan swadaya sekitar Tahun 2005,” katanya.
Kemudian, tim swadaya Desa Serangan terhadap lokasi ini dimohonkan sebagai jalan, yang sepengetahuannya kepada Ibu Haji Prema sebagai pemilik lahan. Di lokasi yang berdekatan, dikatakan sudah terbentuk jalan yang dibuat oleh Bapak Wayan Dana, berupa jalan tanah yang lebarnya seperti kondisi jalan aspal saat ini.
“Tahun 2016 di mohonkanlah pengaspalan ke pemerintah, terkait dengan tanah ibu Maisarah secara dokumen luasnya 1 hektar 12 are, saat itu kita belum tahu batas-batasnya. Mengacu Peta Desa Serangan, semua sudah jelas maka adanya klaim BTID lewat Hak Guna Bangunan (HGB) ini yang saya tidak memahami kenapa BTID sampai memegang HGB tanah hingga ke areal sebelah selatan,” ujarnya. (kbh1)