November 25, 2024
Pendidikan

Sastra Inggris Unwar Gelar International Conference on Language, Culture and Communication 2022

Denpasar-kabarbalihits

Program Studi (Prodi) Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Warmadewa (Unwar) menyelenggarakan International Conference on Language, Culture and Communication 2022 secara hybrid berpusat di Ruang Sidang Sri Ksari Mandapa Unwar. International Conference ini mengangkat tema “The Intersection of Language Culture and Communication” dengan 2 keynote speaker yaitu Prof. Dr. I Nyoman Kardana, SS.,M.Hum dari Universitas Warmadewa dan Prof. Asako Shiohara dari Tokyo University of Foreign Studies, serta mendatangkan 4  narasumber yaitu Dr. Alma Cita dari Calimbo Central Mindanao University, Dr. Miranda Lai dari RMIT University, Dr. Erika Gonzalez Garcia dari RMIT University, dan Prof. Ida Ayu Made Puspani dari Universitas Udayana.

Acara dihadiri oleh Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Propinsi Bali, Rektor Universitas Warmadewa, Wakil Rektor I Universitas Warmadewa, Dekan Fakultas dilingkungan Universitas Warmadewa, Direktur Pascasarjana, Direktur Vokasi , Perwakilan Dosen Unud & Unmas, serta Tamu Undangan dari Royal Melbourne Institute of Technology University dan Central Mindanao University.

Rektor Unwar Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP&E.,Sp.ParK menyambut baik dan mengapresiasi acara International Conference ini. Ia mengatakan bahwa kebudayaan adalah hal yang penting karena mengandung identitas intrinsik masing-masing bangsa dan individu.

“Di samping itu, bahasa yang lahir dari budaya pun tidak kalah penting karena bahasa merupakan sistem yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, bahkan dapat menyampaikan dan melestarikan budaya yang dipegang oleh masing-masing bangsa dan individu tersebut,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Propinsi Bali Dr. Drs. A.A. Gede Oka Wisnumurti, M.Si., mengatakan bahwa tema dari International Conference ini sangat menarik untuk dibahas. “Karena cara komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan kita,” ucapnya.

Dalam seminar ini, bahasa dan budaya sebagai bagian dari komunikasi akan dibahas secara mendalam oleh para ahli dari 4 negara yang berbeda. Wisnumurti berharap dari konferensi ini dapat menghasilkan rekomendasi akademik untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pelestarian bahasa daerah, penggunaan bahasa nasional sebagai identitas dan penguasaan bahasa asing sebagai alat komunikasi global.

Baca Juga :  Bersama UniMAP serta Dukungan INNOPA, Pengabdian Internasional Unwar di Desa Catur Menunjukkan Keberhasilan Unwar Membina Petani Kopi

Dalam materinya yaitu “Local Language for Ecotourism Development” Prof. Kardana menyampaikan perbedaan antara konsep pariwisata lama yang cenderung mengeksploitasi lingkungan dengan konsep alternatif yang lebih memikirkan konservasi lingkungan. Konsep alternatif tersebut dikenal dengan istilah ekowisata. Konsep ekowisata ini mengandung 3 komponen, yakni konservasi, pemberdayaan, dan pendidikan lingkungan sehingga dalam pengembangan dan kebertahanannya, ekowisata memerlukan beberapa sektor, yakni masyarakat, pemerintah, wisatawan, dan perusahaan terkait.

Ekowisata tersebut memiliki prinsip-prinsip dasar, yakni meminimalisasi dampak fisik, sosial, perilaku, dan psikologi, membangun budaya untuk sadar dan menghormati lingkungan, memberikan pengalaman positif bagi masyarakat lokal dan wisatawan, memberikan keuntungan finasial secara langsung untuk melestarikan lingkungan, meningkatkan ekonomi masyarakat lokal, meningkatkan sensitivitas destinasi wisata secara  sosial dan lingkungan, serta masih banyak lagi.

Selaras dengan hal itu, Prof. Kardana menambahkan bahwa bahasa lokal harus di lestarikan karena bahasa lokal memiliki peran penting dalam pengembangan ekowisata tersebut, mengingat Bahasa lokal merupakan penciri identitas pemiliknya, dapat melestarikan dan mengembangkan budaya lokal, mengandung nilai, budaya, dan kearifan lokal, dan dapat mengembangkan ekowisata.

Di akhir presentasinya, Prof. Kardana menyampaikan beberapa gerakan, yakni prioritaskan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Dalam presentasinya “Communicating with Police – Mediating Language and Culture Barriers” Dr. Miranda Lai menyampaikan bahwa interpreting adalah metode serius yang merupakan sebuah tanggung jawab besar dalam menentukan nasib korban, pelaku, dan pihak-pihak yang terlibat dalam setiap komunikasi yang dilakukan, khususnya yang berhubungan dengan kepolisisan. Miranda Lai menambahkan, seorang interpreter harus bersikap netral terhadap kata-kata yang disampaikannya, seperti tidak boleh menyertakan advokasi pribadi, tidak boleh memasukkan perasaan (bias) atau perilaku apa pun seperti tertawa cekikikan terhadap aksen tertentu, dan harus menyampaikan apa pun seakurat mungkin (tanpa pembenahan, penghapusan, pengurangan, penambahan, atau upaya untuk meringkas).

Baca Juga :  Targetkan Kenaikan Jumlah Awardee IISMA 2024, KUI Gelar Roadshow Sosialisasi ke-13 Fakultas di Unud

Dalam materi “Some Observation on Demonstratives and Definite Markers in Indonesia Languages” oleh Prof. Asako Shiohara menampilkan pemarkah demonstratif bahasa antara 3 bahasa yang berkembang di Indonesia, yakni bahasa Melayu, bahasa Bali, dan bahasa Sumbawa. Adapun fungsi pemarkah demonstratif tersebut adalah merujuk atau identifikasi suatu benda (bahasa) secara langsung.

Diberikan pula beberapa contoh data yang mengandung pemarkah demonstrative dalam ketiga Bahasa tersebut. Selain pemarkah demostratif, dijelaskan pula jenis-jenis pemarkah definit yang ditemukan, seperti bentuk -e dalam bahasa Bali yang merupakan pemarkah definit setara dengan pemarkah the dalam bahasa Inggris. Dalam simpulannya disampaikan bahwa meskipun ketiga Bahasa yang diteliti memiliki hubungan erat secara sejarah, namun system pemarkahnya sama sekali berbeda. Khususnya Bahasa Bali, ditemukan memiliki pemarkah definit yang berstatus lebih tinggi.

Dalam presentasinya dengan materi “Challenging Translation of Cultural Bounded Text” Prof. Ida Ayu Puspani mengemukakan bahwa menerjemahkan teks-teks yang berkaitan dengan budaya adalah pekerjaan yang menantang, mengingat ketersediaan flora, fauna, dan komponen-komponen di suatu negara yang berbeda-beda turut memengaruhi keberagaman istilah dan pemilihan kata dalam bahasa yang berkembang di negara tersebut. Sebagai contoh, pembetukan pribahasa seperti nasi telah menjadi bubur merupakan pribahasa yang berkembang Indonesia akibat melimpahnya sawah di Indonesia.

Dengan demikian, pribahasa tersebut dibentuk dengan kata-kata yang berhubungan dengan sawah dan beras, seperti nasi dan bubur. Akan tetapi, pribahasa tersebut tidak serta-merta diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi rice dan porridge, namun justru disepadankan dengan susu (milk) mengingat keberlimpahan susu di wilayah eropa. Di samping itu, dijabarkan juga strategi-strategi penerjemahan untuk istilah-istilah kebudayaan (khususnya dalam bahasa Bali), seperti tuak yang disepadankan menjadi coconut wine dan arak yang disepadankan dengan rice beer. Contoh-contoh tersebutlah yang membuat penerjemahan teks-teks yang berkaitan dengan budaya menjadi menantang dan tidak bisa dilakukan secara literal.

Baca Juga :  IBEX-ID Kembali Digelar, Membuktikan Prodi Arsitektur Fak. Teknik dan Perencanaan Unwar Mampu Naikkan Level Bambu

Dalam presentasinya dengan materi “Language, Culture, and Filipino Humor in Bubble Gang” Dr. Alma Cita menyampaikan bahwa komunikasi memerlukan adanya bahasa, dan bahasa berkaitan erat dengan budaya. Sehingga, efektivitas komunikasi akan berhasil diraih bergantung pada komponen masyarakat, tempat, dan budaya yang terlibat. Salah satu komunikasi yang membutuhkan kesamaan latar budaya, latar sosial, dan latar pengetahuan yang krusial adalah implementasi humor di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan, humor adalah ejawantah dari proses linguistik yang kompleks. Apabila tidak ada kesamaan latar budaya, sosial, pengalaman dan budaya, humor akan gagal disampaikan atau bahkan menyebabkan ketersinggungan beberapa pihak.

Dalam presentasinya dengan materi “The Role of Culture in Translation and Communication” Dr. Erika Gonzalez menjelaskan tentang perbedaan mendasar antara High-Context Cultures dan Low-Context Cultures. Dalam hal penerjemahan, penerjemah non professional cenderung kurang memiliki kesadaran terhadap macro-textual features and mentions, sedangkan penerjemah professional berusaha mentranfer setiap komponen dengan tepat secara keseluruhan, termasuk konten-konten budaya yang memerlukan perlakuan spesial. Setelahnya, Erika juga menampilkan perbedaan penyajian iklan yang mempromosikan produk sama di negara-negara yang berbeda.(r)

Related Posts