Menerima atau Menolak
Gianyar-kabarbalihits
Seorang teman yang sudah berkeluarga pernah berucap dan berandai-andai bahwa dia merasa akan lebih bahagia jika dia menikah dengan pacar dia yang pertama. Dia tidak jadi menikah dengan pacarnya itu karena orang tua si perempuan tidak setuju anaknya menikah dengannya. Apapun alasannya, pengandaian semacam ini biasanya muncul ketika seseorang menemukan kekurangan pada pasangannya. Ibarat sebuah tembok bata yang bagus; jika pada tembok tersebut terdapat satu bata yang jelek, maka orang akan lebih fokus pada bata yang jelek dan bukan pada tembok secara keseluruhan. Karena itu pula, orang akan selalu mengingat kekurangan atau kelemahan seseorang dari pada kebaikannya dan inilah yang sebenarnya dalam banyak kasus merupakan sumber konflik.
Pada kasus lain, saat Anda dan rombongan dalam sebuah kendaraan terjebak kemacetan, terlepas dari tingkat keparahan macet tersebut, akan selalu ada yang nyeletuk, “Coba tadi tidak lewat jalan ini, pasti gak kena macet,”, “Sudah dikasi tahu tadi, mestinya lewat jalan yang itu,” dan sebagainya. Begitu juga ketika diajak teman ke suatu tempat atau lokasi yang mungkin Anda tidak menikmatinya, maka Anda akan berandai-andai, “Coba saya tidak ikut tadi”, “Pasti saya akan lebih ‘enjoy’ seandainya saya berada di ‘Y’, dan sebagainya.
Pada kasus lain, banyak orang yang tidak puas dengan keadaannya pada saat ini, terutama terkait dengan keadaan ekonomi dan sosialnya, sekalipun penghasilannya cukup besar secara nominal, dan membayangkan kehidupan (ekonomi) yang lebih baik. Terkait dengan keadaan ekonomi ini, maka akan terkait indikator sukses yang ditargetkan seseorang, misalnya : “Saya akan merasa sukses jika sudah punya rumah besar dan mewah dan beberapa mobil bagus.”
Dan pada kasus lain tidak sedikit yang berandai-andai, “Coba presidennya bapak X, keadaannya pasti akan lebih baik”, “Saya tidak bisa membayangkan seperti apa nasib anak-anak saya ke depannya”, dan seterusnya.
Waktu Jam dan Waktu Psikologis
Apa yang sebenarnya terjadi dengan situasi yang digambarkan di atas adalah bahwa banyak orang yang terjebak dalam situasi “Waktu Psikologis”, yakni situasi orang yang masih belum bisa lepas dari belenggu masa lalu di satu sisi dan mengidealkan sekaligus mengkhawatirkan masa depan alias hidup di masa depan.
Terkait hal tersebut di atas, Eckhart Tolle membagi waktu menjadi dua; Waktu Jam dan Waktu Psikologis. Waktu Jam adalah terkait dengan rutinitas seseorang; jam pergi ke kantor, makan siang, rapat atau tidur atau olahraga, kapan melakukan perjalanan atau mengadakan perjanjian. Termasuk dalam Waktu Jam ini adalah bagaimana kita belajar dari masa lalu terutama ketika melakukan kesalahan, sehingga tidak terulang lagi. Sedangkan Waktu Psikologis lebih terkait dengan keadaan psikologis seseorang yang berkaitan dengan masa lalu, saat sekarang dan masa depan. Ada orang yang susah ‘move on’ atau masih tenggelam dengan masa lalunya, misalnya belum bisa lepas dari bayangan mantan, trauma masa lalu atau ‘penyesalan’ yang mendalaman dan berlebihan atau menyalahkan diri sendiri. Penyesalan (mendalam) adalah salah satu bentuk bagaimana seseorang terjebak dalam Waktu Psikologis masa lalu. Di sisi lain, karena seseorang lebih fokus pada tujuan untuk mencapai sebuah keadaan ideal (kebahagian, sukses, kaya) di masa depan, hingga tidak jarang mengabaikan keadaan saat sekarang seperti berkumpul bersama keluarga, bersenda gurau dengan saudara, menikmati indah dan harumnya bunga dan sebagainya.
Saat Sekarang
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa antara masa lalu, saat sekarang dan masa depan merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Sederhananya, apa yang kita lakukan atau pikirkan di masa lalu membentuk keberadaan kita pada saat ini dan apa yang kita pikirkan dan lakukan saat sekarang menentukan seperti apa kita di masa depan.
Namun yang mau saya garis bawahi adalah bahwa kebanyakan orang ‘menolak’ atau tidak bisa menerima keberadaannya saat sekarang. Sederhananya, Anda berada di sini, tetapi ingin berada di sana, atau berada dimasa kini, tetapi ingin berada di masa depan (Eckhart Tolle, The Power of Now). Saya pernah mendengar sejumlah orang, mungkin karena mereka mendengar, membaca atau pernah berlibur ke Singapura yang negaranya terkenal bersih dan tertib, berandai-andai membayangkan bisa hidup lebih nyaman atau menyenangkan di sana, tanpa melihat atau menyadari bahwa akan selalu ada persoalan atau minimal hal-hal yang tidak disukai ketika tinggal di sana.
Mengacu kepada konsep sigmun Freud bahwa siklus pemenuhan keingian akan berkutat pada: keinginan – pelakaksanaa/tercapai – peredaan, maka tidak ada kebahagian/kesenangan yang bersifat permanen. Misalnya, Anda terobsesi memiliki sebuah mobil baru idaman anda selama ini, lalu keinginan tersebut tercapai, dan setelah itu perasaan Anda menjadi datar bahkan kosong. Atau katakanlah karena Anda tidak puas atau tidak nyaman dengan keadaan Anda sekarang lalu hal ini memotivasi anda untuk menjadi orang kaya, lalu Anda berhasil menjadi jutawan atau milyuner, tidak tertutup kemungkinan Anda mengalami kondisi bathin yang serba kekurangan alias terus menerus merasa belum cukup. Karena satu keinginan tercapai, keinginan lainnya menunggu untuk dipenuhi. Begitu seterusnya. Maka tidak salah kalau Buddha mengatakan bahwa keinginan dan kerinduan yang mendalam dan terus menerus merupakan sumber penderitaan.
Dengan demikian, pilihanya adalah apakah Anda menolak keadaan Anda pada saat ini (merasa tidak puas dengan keadaan saat ini dan membayangkan kehidupan yang lebih bahagia atau berada di tempat lain) atau menerima sepenuhnya realitas masa kini, dimanapun berada atau apapun yang Anda kerjakan. Menerima bukan berarti pasrah. Menerima juga berarti bahwa Anda menikmati setiap momen perjalanan hidup, sekalipun itu berupa penderitaan (termasuk jika ada orang yang benci atau tidak senang dengan Anda), dan tidak menghabiskan energi untuk fokus pada tujuan (kebahagian, kesuksesan). Menerima juga berarti bersyukur, bahwa kesejahteraan atau kebahagian kita ada pada saat ini, bukan di masa depan.
Riwayat Penulis :
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.