
Akademisi UNHI Siap Ngayah di PHDI Bali “Perkuat Hindu yang Berkearifan Lokal”
Denpasar-kabarbalihits
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali akan melaksanakan Lokasabha VIII untuk memilih pengurus baru periode 2022-2027 pada tanggal 8 April 2022. Lokasabha ini akan menjadi momentum penting dalam upaya mengurai benang kusut di internal organisasi akibat kisruh sampradaya yang berkembang selama ini. Pengurus PHDI Bali yang baru diharapkan mampu menjaga marwah dan wibawa organisasi agar tetap mendapatkan kepercayaan umat Hindu. Selain itu, pucuk pimpinan baru di dalam kepengurusan PHDI Bali diharapkan mampu menjadi pemersatu umat Hindu sesuai dengan spirit yang diwarisi oleh Mpu Kuturan.
Melihat dinamika yang terjadi di internal PHDI, akademisi Universitas Hindu Indonesia Dr. Drs. I Putu Sarjana, M.Si mengaku siap berkontribusi (ngayah) dalam upaya melakukan perbaikan di internal organisasi dan membangun kembali kepercayaan umat Hindu terhadap PHDI. Karena kunci keberadaan PHDI tentu saja kepercayaan umat Hindu, sehingga program dan agenda kerja dalam upaya meningkatkan sradha dan pemahaman umat Hindu bisa dijalankan dengan baik.
“Sebagai umat Hindu kita mesti punya semangat mempersatukan umat sebagaimana Mpu Kuturan menyatukan aliran dan sekte-sekte yang berkembang di Bali. Perpecahan yang terjadi selama ini harus dicarikan solusi terbaik. Di sini peran pengurus PHDI yang baru sangatlah strategis. Umat Hindu menjadi umat yang minoritas di Indonesia, kunci pemertahanan eksistensi umat Hindu adalah persatuan umat. Termasuk di dalamnya pengurus PHDI baik di pusat maupun di daerah harus solid,” papar mantan Dekan Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya Unhi ini.
Doktor Putu Sarjana menjelaskan, ada banyak agenda organisasi dan keumatan yang mesti jadi perhatian. Pertama adalah meningkatkan mutu sumber daya umat Hindu agar benar-benar bisa bersaing dalam kompetisi global. Jika Sumber Daya Manusia (SDM) Hindu lemah, maka ia tidak akan mampu bersaing termasuk mempertahankan eksistensinya. Di Indonesia banyak umat Hindu yang pendidikannya masih rendah. Ini harus menjadi perhatian khusus ke depannya.
Kedua adalah masalah ekonomi umat Hindu. Problem umat selama ini dominan karena masalah ekonomi. Apalagi di Bali, sejak pandemi Covid 19 melanda, banyak umat Hindu yang kehilangan pekerjaan, karena hampir 80 persen mengandalkan sektor pariwisata. Persoalan ekonomi umat Hindu bisa memicu munculnya masalah-masalah yang lain seperti konflik, aksi kejahatan, termasuk menjadi sasaran untuk dialihagamakan. Penelitian-penelitian akademisi sudah menunjukkan salah satu penyebab konversi agama adalah masalah ekonomi.
Ketiga, menjaga karakteristik Hindu yang berkearifan lokal. Jajaran pengurus PHDI mesti memahami latar belakang sejarah Hindu di Indonesia yang sudah benar-benar menyatu dengan tradisi dan kearifan lokal. Hindu di Bali berbeda dengan Hindu di daerah lain, termasuk dengan Hindu di India karena sudah terjadi pelokalan nilai-nilai ajaran Hindu. Spirit yang sudah diwarisi sejak zaman Markandeya, Mpu Kuturan, sampai pada kedatangan Dang Hyang Nirartha harus dijaga. Para orang suci ini sudah membangun tatanan Hindu Bali yang kuat. Termasuk para cendekiawan Hindu sebelumnya yang telah berjuang merumuskan kembali Hindu Bali agar bisa diterima menjadi agama resmi negara.
“Kita tidak boleh mengkhianati leluhur Bali yang telah mewarisi tatanan keagamaan yang sangat luar biasa. Tugas PHDI adalah menjaga itu. Karena keunikan Hindu di Indonesia justru karena ekspresi keagamaannya yang berbasis pada budaya etnik, sehingga Hindu memang melindungi keanekaragaman kearifan lokal di Indonesia. Kita mesti mempertahankan identitas Hindu Dayak, Hindu Kaharingan, Hindu Bali, Hindu Jawa, bahkan di Hindu Papua. Ini menunjukkan karakteristik Hindu yang universal karena merangkul keanekaragaman budaya nusantara kita,” papar doktor di bidang agama dan kebudayaan ini.
Keempat, lanjut Putu Sarjana, membangun sinergi yang solid antara PHDI Pusat dan Daerah. Sejak era konflik Campuhan dan Besakih, potensi konflik antara PHDI Pusat dan Daerah terus muncul. Hal ini disebabkan oleh kepentingan elite di internal organisasi yang hanya membawa misi kelompoknya, sehingga aspirasi-aspirasi yang lain tidak terakomodir. Hal ini harus diminimalisir di internal organisasi PHDI.
Kepentingan umat yang lebih luas lebih penting daripada hanya kepentingan kelompok. PHDI Pusat juga mesti menjadi “orang tua” yang mengayomi dan menyerap aspirasi di daerah. Karena jika PHDI Pusat dan Daerah tidak bersinergi, maka potensi konflik akan selalu muncul seperti yang terjadi di tahun 2001 yang dikenal dengan konflik PHDI Campuhan dan Besakih. Apalagi jika aspirasi PHDI Daerah tidak terakomodir dengan baik. Ini pasti memicu perpecahan.
“Ke depan masalah ini harus menjadi perhatian kita bersama. PHDI harus melakukan pembenahan internal. PHDI mesti benar-benar membawa kepentingan umat secara holistik, tidak hanya membawa kepentingan kelompok saja. Jika PHDI masih saja membawa kentingan kelompok elite tertentu, maka selalu akan ada dinamika di dalamnya. Saya rasa kita harus intropeksi diri untuk membenahi internal organisasi sehingga kepercayaan umat bisa tumbuh,” jelas Sarjana.
Terakhir menurut Doktor Putu Sarjana, PHDI mesti bersinergi dengan lembaga-lembaga adat. Misalnya saja di Bali, harus ada sinergi antara PHDI Bali dan Majelis Desa Adat dalam menyikapi persoalan-persoalan keumatan. Hal ini penting dilakukan karena umat Hindu di Bali tinggal di wilayah desa adat dan terikat pada tradisi dan adat istiadat setempat. Selain beragama Hindu, secara sosio-kultural, mereka juga menjadi krama Desa Adat. Domain PHDI lebih ke wilayah keagamaan, sementara Majelis Desa Adat ke ranah sosial-budaya.
Sinergi antara PHDI dan Majelis Desa Adat ini akan memperkuat pondasi Hindu yang berkearifan lokal, sehingga tidak ada benturan antara nilai Hindu dan praktik di desa adat. Selama ini praktik adat dan Hindu sering dibenturkan. Bahkan persoalan di desa adat dianggap menjadi pemicu persoalan berkeyakinan. “Saya rasa ini penting dicermati. Antara PHDI dan MDA harus bersinergi menyelesaikan persoalan umat. Bukan sebaliknya jalan sendiri-sendiri. Jika PHDI dan majelis adat bersatu, saya yakin Hindu Bali akan semakin kuat,” jelas Wakil Rektor III Unhi ini.
Melihat tantangan PHDI Bali ke depan, Doktor Putu Sarjana mengaku siap ngayah dalam upaya berkontribusi untuk umat Hindu dan melakukan pembenahan di internal organisasi PHDI. Sebagai akademisi yang mendalami bidang agama dan kebudayaan, Putu Sarjana merasa terpanggil ikut serta membenahi organisasi keumatan ini. Menurutnya, akademisi mesti bebas dari kepentingan apapun dan independen dalam menjalankan program dan agenda kerja organisasi. “Jika dipercaya saya siap ngayah untuk PHDI. Tentunya dengan agenda-agenda yang sudah saya sampaikan tadi. Kuncinya, umat harus bersatu dan PHDI mesti mampu menjadi pemersatu umat,” tutupnya. (r)


