November 25, 2024
Opini

Jujur Tapi Bo’ong

Salah satu lagi anak anak berbahasa Inggris yang populer adalah “Johnny Johnny Yes Papa”. Dalam video lagu tersebut digambarkan Johnny yang masih balita mencuri gula di dapur. Ketika ditanyakan oleh ayahnya apakah dia makan gula, dia bilang tidak. Ketika dikejar lagi apakah dia bohong, diapun mengaku. Dari lagu itu kita tahu Johnny berbohong untuk mengejar kenikmatan (makan yang manis-manis). Dia mengambil gula itu dengan diam-diam (mencuri). Anak pada usia demikian belum berada pada tingkat pemikiran bahwa mencuri ataupun berbohong adalah tergolong tindakan yang tidak baik dan bisa mendapat hukuman. Singkatnya nilai baik-buruk belum berada pada tingkat pemikiran mereka.

Selanjutnya, pada tingkatan usia remaja, katakanlah anak usia sekolah, sudah bukan rahasia umum kalau nyontek atau ‘ngrepek’, terutama anak usia SMP dan SMA (dan mahasiswa juga) adalah perilaku yang sudah lumrah. Para remaja itu tahu kalau mereka ketahuan nyontek akan mendapat hukuman. Perbuatan nyontek jelas bertentangan dengan nilai kejujuran, dan mereka tahu hal tersebut. Namun karena ingin mendapatkan nilai yang bagus mereka tidak segan-segan melanggar nilai kejujuran tersebut.

Pada tingkatan orang dewasa, ‘perselingkuhan’ adalah hal yang umum terjadi. Perselingkuhan terjadi bisa disebabkan beberapa faktor; pasangan sudah tidak menarik secara fisik, menemukan hal-hal/sifat/kepribadian yang tidak ada pada pasangan sendiri tetapi didapatkan pada orang lain (orang yang diajak selingkuh), pertemuan yang intens dengan seseorang yang berujung pada saling curhat, kebutuhan lahir maupun bathin yang tidak bisa lagi dipenuhi oleh pasangan. Akan tetapi apapun penyebabnya, perselingkungan adalah salah satu bentuk ‘ketidakjujuran’.

Terkait dengan perihal di atas, filsuf Immanuel Kant membagi tahapan  perkembangan psikologis kematangan dan kedewasaan menjadi tiga tingkatan prinsip nilai, yakni Anak, Remaja dan Dewasa.

Prinsip Nilai Anak pada dasarnya hanya berfikir tentang kenikmatan semata tanpa mengindahkan apakah hal itu baik atau buruk atau apakah ada konsekwensi hukuman. Sehingga ada kalanya anak kecil mengambil sesuatu yang dia sukai dengan diam-diam, seperti yang digambarkan  pada lagu Johnny Johnny Yes Papa. Yang penting apa yang dia lakukan menyenangkan dan memberi kenikmatan, seperti makan permen maupun es krim. Tidak peduli apakah nanti bisa menimbulkan sakit (batuk).

Setelah usia remaja, seseorang mulai berfikir tentang akibat dari sebuah tindakan. Mulai tumbuh sebuah prinsip. Mereka menyadari bahwa nyontek adalah tindakan yang tidak baik, apalagi ketahuan oleh guru. Namun kalau tidak nyontek, kemungkinan akan mendapat nilai yang kurang bagus dan kalau nilai tidak bagus bisa membuat orang tua  marah. Mereka tahu, berhubungan badan sebelum menikah bisa beresiko kalau sampai terjadi kehamilan. Di sinilah rentan terjadi  pertentangan bathin antara mengejar kenikmatan dan ketidaksiapan menerima rasa sakit atau derita yang bisa ditimbulkan. Dan pada tahapan remaja ini juga ada kecendrungan menyerap peran-peran yang diciptakan oleh lingkungan sosial; Apakah kalau saya merokok nanti akan terlihat gagah? Kalau saya menyukai musik dangdut, nanti saya dibilang kampungan. Kalau saya mengikuti gaya penampilan penyanyi Korea, pasti saya tampak keren, dan seterusnya. Dengan demikian menjalani hidup dengan nilai fase remaja ini sebenarnya lebih kepada menjalani (gaya) hidup berdasarkan hasrat-hasrat yang ada di lingkungan sosial dan tentu saja jauh dari menjadi diri sendiri.

Baca Juga :  Apes, Tiga WNA Kena Sanksi Rp. 1 Juta Saat Terjaring Razia Prokes di Ubud

Sedangkan Nilai Prinsip Dewasa berpegang pada bahwa sebuah prinsip tetaplah prinsip. Di kampung saya ada seorang dokter yang disamping sehari-harinya praktek, juga menjalani hidup sebagai petani dan peternak. Dia tidak segan-segan berpakaian sederhana membawa rumput atau hasil bumi dibonceng di sepeda motor bututnya. Kalau orang yang tidak faham prinsip hidupnya pasti akan heran. Jadi ada semacam kejujuran pada perilakunya, bahwa meskipun dia bergelar dokter, dia jujur memilih prinsipnya untuk menjalani hidupnya seperti itu.

Intinya seorang yang dewasa berprinsip bahwa kejujuran tetaplah kejujuran. Kejujuran lebih penting dari apa yang dia akan dapatkan dari kejujuran itu sendiri. Intinya kejujuran adalah sesuatu yang baik dan benar alias kejujuran adalah sebuah tujuan, bukan sebagai alat untuk mencapai sesuatu. Jadi tidak jarang terjadi semacam pengekangan terhadap hasrat-hasrat pribadi demi mempertahankan prinsipnya. Beda dengan prinsip nilai remaja, bahwa dia memang tahu jujur itu baik, tetapi ketika dihadapkan pada kesulitan, misalnya tidak bisa menjawab soal ujian, akan terdorong untuk berlaku tidak jujur (nyontek/ngerepek).

Perlu diingat bahwa prinsip nilai anak, remaja dan dewasa tidak ada hubungannya dengan perkembangan usia. Tidak sedikit anak-anak maupun remaja yang menjalani prinsip nilai dewasa. Salah seorang teman semasa kuliah dulu, sama sekali tidak mau nyontek sewaktu ujian betatapun sulit soalnya.

Sebaliknya tidak sedikit orang dewasa yang menjalani prinsip nilai anak-anak atau remaja. Contohnya adalah ketika para politikus hendak mencari suara, maka banyak janji yang diobral walaupun sebenarnya banyak janji itu tidak akan terpenuhi. Untuk menutupi janji-janji yang tidak bisa dipenuhi tersebut maka mereka melakukan ‘transaksi’ (tawar-menawar) dengan memberikan uang (serangan fajar) dan ‘bansos’. Jadi ketika segala sesuatu bersifat ‘transaksional’, maka ada ketidakjujuran di sana.

Remaja yang sedang jatuh cinta selalu berusaha menunjukkan cintanya kepada pasangannya, misalnya dengan selalu terlihat baik dan perhatian kepada pasangannya, misalnya dengan memberikan hadiah atau bersikap mesra. Perilaku yang ditunjukkan tersebut tidak jarang disertai harapan untuk mendapatkan ‘sesuatu’ dari pasangannya, apakah cinta atau terpenuhinya hasrat-hasrat tertentu. Artinya pemberian itu sebenarnya tidak sepenuhnya murni sebagai pemberian, karena disertau ‘harapan’ atau pamrih.

Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, ketika kita memberikan sesuatu atau hadiah kepada pasangan kita, katakanlah kepada istri, maka pemberian itu memang kita anggap baik dan benar tanpa keinginan mendapat pujian, pengakuan, maupun kepuasan (istri akan bersikap lebih mesra misalnya). Intinya ketika menerapkan prinsip dewasa (dalam hal ini kejujuran), kita akan memberikan begitu saja tanpa mencari-cari imbalan, karena ketika kita berharap akan imbalan, maka justru akan merusak nilai atau tujuan dari pemberian itu sendiri, Nah, kalau memberi dengan berharap seperti kasus di atas, itu namanya jujur, tapi bo’ong.

Riwayat Penulis :

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’  ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts