
AJI Denpasar Nobar dan Diskusi Film A Thousand Cuts
Denpasar – kabarbalihits
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menggelar norbar dan diskusi film A Thousand Cuts, di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Bali, Jumat (5/11/2021). Nobar ini bertema Impunitas dan serangan digital ancaman kebebasan berekspresi.
Nobar diikuti masyarakat umum, jurnalis, aktivis, hingga pers mahasiswa.

Ketua AJI Denpasar Nandhang Astika mengatakan nobar film ini digelar di 10 AJI Kota yang ada di Indonesia. Nobar ini juga untuk memperingati Hari Internasional Memperingati Impunitas Atas Kejahatan Terhadap Jurnalis, yang diperingati pada 2 November.
“Film ini juga merepresentasikan apa yang ada di Indonesia dan mengingatkan adanya ancaman serupa. Beberapa momen jurnalis di Indonesia juga mendapatkan perlakuan seperti itu, seperti pelabelan hoax produk jurnalistik dan kriminalisasi,” kata Nandhang.
A Thousand Cuts garapan sineas keturunan Filipina-Amerika Ramona Diaz. Film dokumenter ini berkisah tentang Pemimpin Redaksi Rappler.com, Maria Ressa.

Film ini menceritakan bagaimana adanya konflik antara pers dengan pemerintah Filipina yang presidennya seorang Rodrigo Duterte. Maria dihadapkan dengan tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik. Tuduhan itu dilayangkan karena pemberitaan dari Rappler.com.
Pemantik diskusi ini, pengurus AJI Indonesia Luh De Suryani mengatakan Maria Ressa menghadapi 11 tuntutan dalam waktu bersamaan hanya karena karya jurnalistik. Menurutnya hal ini merupakan bentuk kesewenangan negara karena karya jurnalistik dicari celahnya lalu dipidana.
“Media dia dilegitimasi dan dirusak kepercayaan publik. Kemudian diplintir lewat buzzer. Ini kan gila ya, bagaimana karya jurnalistik bisa dikriminalisasi,” Jelasnya.
Kejadian semacam itu menurutnya baru-baru ini juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan bagaimana pemberitaan Project Multatuli yang dicap hoax oleh Polres Luwu. Kemudian penulis dan narasumbernya dilaporkan ke polisi dengan menggunakan UU ITE.
Ia mengatakan sebagai jurnalis memang ada kekhawatiran jika memproduksi berita dengan adanya bayang-bayang dilaporkan menggunakan UU ITE. Namun, selama untuk kepentingan publik dan karyanya bisa dipertanggungjawabkan menurutnya tak perlu ada ketakutan.
“Karena banyak lembaga dan jaringan yang sudah punya mekanisme terkait menghadapi kriminalisasi ini. Selama karyanya benar-benar produk jurnalistik dan kepentingan publik tak perlu takut,” Pungkasnya.
Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning menyebut terkait ancaman kebebasan pers dan peluang kriminalisasi, pengembangan diri dan memperkuat jaringan menjadi penting. Misalnya sesering mungkin membuat kelas-kelas pengetahuan untuk memperdaalam pengetahuan.
“Misalnya LBH, itu kami bikin kelas-kelas rutin untuk meyakinkan bahwa apa yang kita lakukan itu benar. Jika ada serangan terkait itu kita tahu senjatanya apa dan kita biar lebih percaya diri,” Katanya.
Menurutnya, wartawan diaporkan bukan sekali dua kali. Maka penting bagaimana suport system dan jaringan advokasi di Bali jika ada pelaporan semacam itu.
“Sebab kemudian yang mendorong dan memperkuat adalah jaringan di Bali. Kalau nasional, kan, lebih ke campaign. Jaringan advokasi di Bali harus dikuatkan,” Ujarnya.
Sistem pendukung ini, kata dia, tanpa diminta pasti akan bergerak jika ada wartawan menghadapi tuntutan hukum terkait beritanya.
“Kalau dikriminalisasi tanpa diminta pun pasti akan diberi bantuan,” Imbuhnya. (r)


