November 25, 2024
Opini

Belajar Memaafkan

Selama ini saya penasaran dengan ungkapan ‘Forgive But Not Forget, hingga suatu hari saya menonton sebuah film indie di saluran Youtube, “Champion.” Dalam film itu dikisahkan seorang pengusaha mempunyai seorang anak yang memiliki hobi balap mobil. Selama ini hubungan  mereka kurang bagus karena sang ayah tidak setuju anaknya menjadi pembalap, sekalipun anaknya berprestasi dalam dunia balap.

Anaknya kemudian berinisiatif untuk mengundang ayahnya menyaksikan lomba balap mobil dimana anaknya menjadi salah satu peserta. Sang ayah langsung saja menerima undangan itu dan kemudian menjadikan pertemuan itu sebagai momen saling memaafkan. Selanjutnya hubungan Ayah – Anak itu menjadi harmonis.

Akan tetapi selang beberapa waktu anaknya tewas dalam sebuah arena balapan karena kecelakaan akibat ditabrak oleh salah satu peserta lainnya yang merupakan rival beratnya. Pembalap yang menabrak itu berusaha mati-matian minta maaf kepada sang ayah, akan tetapi rasa kehilangan yang amat dalam membuat hatinya tertutup untuk sebuah kata ‘maaf’.

Seorang rekan bisnisnya tidak henti-hentinya menasehati si pengusaha ini agar mau menerima permintaan maaf tersebut karena faham betul beban mental yang ditanggung oleh orang yang melakukan kesalahan dan menyadari sepenuhnya kesalahan yang dibuatnya.

Hati si pengusaha kemudian tersentuh setelah tahu bahwa istri dari rekan bisnisnya tersebut pernah mengalami kecelakaan sehingga mengalami patah kaki yang hebat. Dan hatinya pun semakin luluh setelah dia tahu bahwa yang menabrak istri rekannya tidak lain dan tidak bukan adalah anaknya sendiri sebelum anaknya tewas karena kecelakaan di atas.

“Forgiveness didn’t erase the past, but it helps rewrite the future”, ungkap rekan bisnisnya dan semenjak itu dia bisa memaafkan orang yang menabrak anaknya dan justru hubungan si pengusaha dengan si penabrak itu seperti hubungan Ayah dan anak. Dia menyadari bahwa amarah, rasa benci, tidak akan bisa mengembalikan anaknya.

Baca Juga :  Mengingat Pesan Ungkapan Buka Wayange a Gedog

Cerita di atas menggambarkan bahwa dengan “Memaafkan” kita  memilih untuk tidak membiarkan peristiwa-peristiwa negatif dari masa lampau membebani pikiran dan perasaan kita terhadap seseorang atau sesuatu pada saat ini. Namun demikian memaafkan bukan berarti melupakan.

Menurut Mark Manson, ada lima tahapan dalam proses memaafkan:

  1. Memisahkan perbuatan dari orangnya. Orang yang sekali waktu berbuat buruk atau jahat belum tentu sepenuhnya jahat. Seorang ibu yang terpaksa mencuri sekaleng susu bubuk di sebuah toko atau mini market agar anaknya bisa mendapat asupan susu tentu tidak bisa kita vonis bahwa dia sepenuhnya jahat. Di lain waktu mungkin dia juga pernah berbuat baik.
  2. Memahami niat. Seseorang yang berbuat buruk atau jahat kepada orang lain bisa saja akibat kompensasi dari penderitaan mereka atau mereka adalah korban dari sebuah sistem kepercayaan. Seorang istri bisa saja selingkuh karena merasa diterlantarkan dan kesepian lalu berusaha mendapatkan perhatian pada orang lain; orang yang maling hp bisa jadi karena sudah kepepet sekali mengusahakan uang untuk biaya sekolah anaknya. Orang yang tega meledakkan bom merupakan korban dari sebuah sistem kepercayaan. Dalam hal ini ada semacam pembenaran dalam tindakan mereka. Dan dalam diri mereka, tidak tertutup kemungkinan adanya semacam penderitaan dan rasa berdosa karena telah berbuat buruk atau jahat.
  3. Setelah kita bisa memahami penderitaan atau motivasi atau niat mereka, maka kita berusaha mengerti ‘penderitaan’ yang dialami mereka dan membayangkan diri kita berada pada posisi mereka.
  4. Tentukan Batasannya. Jika ada seseorang pernah meminjam uang kepada Anda sekian lama dan tidak pernah mengembalikannya, namun beberapa saat kemudian dia muncul lagi dan meminjam uang lagi kepada Anda, apa yang Anda lakukan? Sekarang Andalah yang menentukan batasannya. Apakah Anda akan memberikannya lagi untuk memberikan orang bersangkutan kesempatan kedua, atau tidak memberikannya pinjaman lagi sama sekali, karena Anda tidak mau dibohongi lagi. Demikian pula jika ada seseorang yang meninggalkan Anda karena tertarik dengan orang lain, kemudian dia kembali karena dia merasa tidak nyaman atau bahagia dengan orang itu, tentu Anda berhak menentukan batasan, apakah menerimanya kembali atau tidak. Tentu saja kalau dia meminta maaf, Anda maafkan, tetapi untuk kembali rujuk tentu menjadi sebuah pertimbangan atau Anda malah sudah menutup pintu hati.
  5. Hilangkan kemelekatan emosional. Langkah berikutnya adalah lepaskan segala perasaan negatif terkait dengan orang yang telah berbuat buruk atau jahat terhadap Anda. Lepaskan amarah, benci, balas dendam. Hal ini mengingat selalu ada dua sisi yang ‘bertarung’ dalam diri kita. Tergantung sisi mana yang kita beri peluang untuk berkembang. Kalau sisi negatifnya kita beri peluang, maka sisi tersebut yang akan lebih berkuasa, demikian juga sebaliknya.

Proses memaafkan bukan saja dalam kaitannya dengan orang lain, tetapi juga dengan diri sendiri. Memaafkan diri sendiri terasa lebih berat, mengingat keadaan tersebut melekat dengan diri kita. Jika kita pernah berbuat kesalahan atau berbuat buruk di masa lalu, kemudian kita menyadari kesalahan kita, tidak jarang bayangan masa lalu tersebut akan selalu membayangi. Misalnya ketika saat ini Anda menyadari bahwa dahulu Anda tidak begitu perhatian dengan perkembangan anak ketika mereka masih kecil, merasa tidak dekat atau memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya (mungkin karena kesibukan kerja atau yang lainnnya),  dan sesudah mereka besar Anda seperti terperangah dan tersadar, maka mulailah sebisa mungkin dekat dengan mereka, atau penebusan ‘kesalahan’ itu bisa dialihkan kepada cucu Anda. Hal ini mirip dengan situasi ketika seseorang merasa bersalah, dan tidak bisa menebusnya kepada orang bersangkutan, maka bisa dialihkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial, misalnya.

Jika kita ibaratkan proses ‘memaafkan’ sebagai jaringan otot tubuh, maka seperti halnya otot, ‘memaafkan’ pun perlu sebuah latihan yang keras dalam jangka waktu yang panjang. Kita tahu, otot yang sehat tentu akan memnbantu tubuh menjadi sehat dan kuat. Manfaat ‘Memaafkan’ memang lebih bersifat psikologis yang hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri. Tidak ada hasil yang bersifat ‘material’.

Lalu apa saja manfaat dari memaafkan? Ya, memaafkan lebih mengacu kepada kesehatan mental. Memaafkan menurut seorang ahli, bisa meningkatkan rasa nyaman dan mengurangi perasaan negatif, seperti amarah dan sedih, serta membantu meringankan rasa khawatir dan depresi sekaligus juga dapat meningkatkan hubungan kearah perbaikan. Mungkin karena itu pula banyak agama di dunia mengajarkan agar kita tidak membenci, karena tidak jarang, awal yang buruk tidak jarang membuka jalan baru.

        Bagaimana? Apakah Anda mau mulai belajar memaafkan atau malah sudah mulai?

Riwayat Penulis :

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’  ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts