November 25, 2024
Opini

Penegasan Lembaga Perkawinan Dalam Penyuratan Awig Untuk Menciptakan Kepastian dan Perlindungan Hak Krama Desa

Tujuan dari penyuratan awig antara lain sebagai bahan referensi bagi generasi penerus sebagai krama desa dalam melakukan perbuatan hukumnya dalam berbagai bidangnya, seperti dalam bidang perkawinan (pawiwahan). Suatu perkawinan dapat dilakukan melalui pepadikan (meminang/lamaran) dan melalui Lembaga kawin “ngerorod”. Kawin dengan cara ngerorod (kawin lari) dilaukan dengan berbagai alasan seperti karena tidak disetujui orang tua terutama pihak perempuan, adanya perbedaan kasta, ketentuan adat yang dirasakan sangat memberatkan dari aspek proses, prosedur dan biaya. Namun saat ini cara perkwainan ngerorod ini masih dijumpai karena tradisi. Oleh karena itu dalam penyuratan awig juga dianggap perlu diatur karena masih dianggap relevan. Namun perlu dipastikan tidak melanggar hukum negara. Sedangkan bentuk perkawinan yang dikenal adalah perkawinan biasa dan perkawinan luar biasa (nyentana).

Dalam perkawinan biasa pihak laki-laki sebagai purusa yang mengambil istri sebagai predana yang berkewajiban meneruskan generasi keluarga laki-laki (purusa) sesuai dengan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali yaitu Patrilineal, artinya cara menarik garis keturunan laki-laki dari pihak bapak (laki). Sedangkan perkawinan luar biasa adalah perkawinan dimana pihak istri yang berstatus sebagai purusa (sentana rajeg) dengan pihak laki-laki yang berstatus sebagai predana. Dalam perkawinan ini, pihak istri sebagai purusa yang mengambil laki-laki sebagai predana untuk meneruskan generasi keluarga pihak isteri sebagai purusa. Norma inipun wajib juga disurat untuk dapat memberikan kepastian terhadap status hukum para pihak baik dalam lingkungan keluarga, desa adat, masyarakat dan negara. Perkawinan ini juga sering disebut dengan istilah “kawin nyentana”. Lembaga kawin nyentana ada karena adanya kenyataan bahwa tidak setiap perbuatan perkawinan berhasil melahirkan anak laki sebagai keturunan yang disebut “pretisentana” laki-laki (purusa) yang akan meneruskan keluarga dimaksud. Oleh karena itu bagi keluarga yang hanya mempunyai anak perempuan saja, maka dimungkinkan untuk menempuh model perkawinan “nyentana” dengan maksud menghindari kepunahan (putung) keluarga karena tidak punya anak laki (purusa) yang berkewajiban meneruskan generasinya, sehingga salah satu anak perempuannya dapat dijadikan sentana rajeg untuk melakukan perkawinan dengan cara mengambil laki-laki sebagai predana selaku suaminya untuk masuk menjadi bagian keluarganya dengan kewajiban meneruskan keluarga pihak isteri.

Baca Juga :  Wawali Jaya Negara Hadiri Pemutaran Film Pendek "Wong Tilar"

Kemudian belakangan berkembang konsep kawin pade gelahang yang disebabkan karena beberapa masalah, seperti keluarga yang hanya punyak anak wanita tunggal sebagai sentana rajeg. Sementara laki-laki sebagai pacarnya juga anak laki tunggal yang tidak mungkin diijinkan melakukan perkawinan “nyentana” (luar biasa). Demikian pula anak perempuan tunggal ini juga tidak diijinkan melakukan perkawinan biasa. Sebagai jalan keluarnya kemudian dimunculkan konsep “kawin pade gelahang”. istilah pade gelahang ini pada dasarnya dijadikan referensi dan sibolik yang bermakna memberikan tanggung jawab kepada para orang tua kedua belah pihak baik dalam perkawinan biasa dan luar biasa untuk bisa menerima kelebihan dan kekurangan “menantunya” sebagai anggota keluarga baru seperti anak sendiri, sehingga dapat memberikan perhatian sepatutnya dalam mengarungi kehidupan berumah tangga agar tercipta keluaga yang kekal dan bahagia.

Namun dalam perkembangan masyarakat hukum adat di Bali saat ini beberapa pasangan dalam perkawinan melakukan bentuk perkawinan baru yang dikenal dengan “kawin pade gelahang” melengkapi bentuk perkawinan biasa dan luar biasa itu yang sudah ada.

Bagaimanakah eksistensi perkawinan pade gelahang dalam perspektif sosiologis dan yuridis, dan filosofis terutama dalam penyuratan awig-awig?

Secara sosiologis bentuk perkawinan “pade gelahang” dipilih oleh beberapa pasangan dengan konsekuensi adanya ketidakpasatian penentuan terhadap status hukum “purusa dan predana” dalam satu keluarga yang baru dibentuk.  Sementara penentuan purusa dan predana berimplikasi pada keturunan dan hukum keluarga dalam sistem kekeluargaan yang dianut di Bali, demikian pula dalam bidang hukum waris. Ketidakpastian purusa dan predana dapat terjadi apabila dalam sebuah perkawinan si wanita disatu sisi secara artifisial berstatus sebagai purusa di rumah asalnya, sedangkan di rumah suaminya berstatus sebagai predana. Demikian pula pihak suami secara artifisial berstatus purusa di rumah asalnya, dan dilain pihak berstatus predana di keluarga istrinya. Pilihan pada kondisi ini secara privat menjadi urusan para pihak, orang tua dan dan keluarganya. Namun dalam pendekatan konsep secara yuridis, maka yang dimaksud perkawinan (pawiwahan) adalah “katunggalan purusa lan predana melarapan kayun suka arsa kadulurin upasaksi sekala niskala. Jadi dalam perkawinan secara pasti dilakukan oleh seorang pria (sebagai purusa) dan seorang wanita (sebagai predana) dalam perkawinan biasa dengan beberapa konsekuensi yuridis dalam bidang hukum orang dan keluarga, serta hukum waris yang selalu mengikuti garis bapak sebagai purusa. Sebalinya dalam perkawinan luar biasa (nyentana), ikatan lahir bathin (penunggalan) antara pria (sebagai predana) dengan wanita (sebagai purusa) dengan konsekuensi mengikuti garis purusa yang diperankan oleh pihak isteri. Oleh karena itu dengan pendekatan konsep, maka bentuk perkawinan “pade gelahang” ada di luar konsep nilia, yuridis dan soiologis system kekelurgaan yang dianut di Bali. Namun adanya perkawinan “pade gelahang” hanya menjadi urusan “pasangan mempelai, orang tua/kelurga para pihak. Oleh karena itu dalam penyuratan awig-awig sampai saat ini baru dapat dilakukan mengatur tiga jenis  perkawinan, yaitu pepadikan, ngerorod, dan nyentana. Demi adanya kepastian hukum krma desa yang akan melakukan perkawinan dapat memilih jenis perkawinan yang sudah ditetapkan dalam awig-awig sesuai dresta dan hukum negara. Tujuannya adalah mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan terhadap interaksi dan perbuatan hukum serta hubungan hukum krama desa dengan memerhatikan prinsip koherensi, korespondensi, dan fungsional.

Baca Juga :  Wayan Suyasa Bantu Dana Rp 10 Juta,Tirtayatra Dadia Bendesa Manik Mas

Kegiatan PKM Penyuratan Awig-Awig di Desa Adat Pulukan

Tim: I Made Suwitra (Ketua), I Wayan Wesna Astara (Anggota 1), I Wayan Arthanaya (anggota 2)

Related Posts