October 28, 2025
Opini

Penderitaan Melekat Pada Setiap Manusia??

Menurut Setyo Hajar Dewantoro dalam bukunya Suwung, ada tiga sumber penderitaan, yakni keinginan, kemelekatan dan penghargaan diri. 

Keinginan. Mesti diakui bahwa keinginan adalah motor penggerak kehidupan. Jika seseorang yang ingin meningkatkan penghasilannya, maka dia akan bekerja lebih keras. Seseorang yang ingin rumahnya lebih nyaman (praktis), maka dia akan melengkapi rumahnya dengan barang-barang yang bisa membuat suasana lebih nyaman. Kulkas, televisi, pendingin ruangan, wifi, mesin cuci, dan barang-barang konsumtif lainnya. Singkatnya jika manusia tidak memiliki keinginan, maka mungkin kehidupan akan stagnan. Lahirnya revolusi industri di abad ke-18 dengan ditemukannya mesin uap, adalah tentu didasari keinginan manusia untuk lebih maju atau moderan.

Itu contoh dari segi harta atau benda. Di sisi lain, keinginan juga membawa konsekwensi. Mengacu kepada contoh di atas dengan semakin banyaknya barang-barang konsumsi di rumah, berarti semakin banyak yang harus diperhatikan. Lebih banyak anggaran yang mesti disediakan untuk biaya perawatan, terutama jika sewaktu-waktu barang tersebut rusak, tagihan listrik meningkat, pengaruh buruk tayangan televisi, dan sebagainya. Singkatnya makin luas halaman rumah, makin luas pula bidang yang mesti disapu atau dibersihkan. 

Bagaimana halnya dengan asmara? Katakanlah seseorang menginginkan memiliki pasangan yang cantik dan molek. Maka dia pun mesti siap-siap atau was-was kalau nanti pasangannya banyak yang melirik atau naksir. Jelas akan ada kekhawatiran semacam itu. Dia akan cemburu lalu timbul kecurigaan, sehingga berubah menjadi posesif. Nah, kalau salah satu sudah mulai bersikap posisif, biasanya akan timbul pertengkaran alias rebut-ribut. Penderitaan? Oh jelas.

Baca Juga :  Targetkan 400 Kantong Darah, Universitas Udayana Gelar Donor Darah

Bagaimana dengan tehnologi? Tehnologi yang saya maksudkan dalam hal ini mengacu kepada internet. Tidak dipungkiri munculnya internet semakin membuat hidup lebih mudah dan nyaman. Hidup nyaman dan mudah adalah impian semua manusia. Mudah, karena dengan internet komunikasi menjadi kian super cepat dan kita bisa berkomunikasi dengan orang lain dari belahan dunia manapun. Nyaman? Jelas, mau nonton film, dengar musik, mendengar berita, pesan makanan/minuman, mengais rejeki, tinggal klik saja. Namun di sisi lain tehnologi juga bisa menyerupai hantu. Berapa banyak angka perselingkuhan karena internet, percekcokan, saling hujat, hoaks, pedofelia, dan momok-momok yang lainnya.

Kemelekatan.  Kemelekatan mengacu kepada situasi dimana seseorang sangat mencintai apa yang dimilikinya dan sangat takut kehilangan yang dicintainya. Seseorang yang sudah berpacaran lama lalu karena satu dan lain alasan mesti berpisah akan meninggalkan luka yang dalam, meskipun ‘penyembuhannya’, nanti waktu yang akan menjawab yang  rentang waktunya ditentukan oleh seberapa besar tingkat kerelaan orang bersangkutan untuk ‘melepas’.

Penghargaan diri. Seringkali orang berbuat atau bertindak supaya dihargai alias pamrih alias mengharapkan sesuatu. Jika dalam dunia bisnis tentu sah-sah saja. Seseorang mempromosikan produknya agar produknya laris. Tapi dalam relasi keseharian sering kita jumpai orang bertindak demi penghargaan diri. Politikus yang memberikan bantuan social misalnya tentu agar dia agar dihargai dan meminta timbal balik agar memperoleh suara. Atau orang yang suka pamer harta/kepemilikan (kendaraan mewah/aksesoris tubuh) , tentu agar dihargai. Namun ketika penghargaan itu tidak didapatnya, maka dirinya akan menjadi nestapa.

Dari urain di atas, kita bisa asumsikan bahwa pada dasarnya motor penggerak kehidupan adalah ‘penderitaan’. Maka tidaklah terlalu salah kalau Mark Manson menyatakan bahwa konstanta universal hidup adalah penderitaan. Disamping itu penderitaan memang selalu menempel ketat kesenangan atau kebahagian. 

Saya tidak mengatakan semuanya, tapi ada orang yang menderita apa yang saya sebut sebagai “sindrom mimpi di siang bolong”, tercermin dari ungkapan-ungkapan semacam ini. “Wow pasti hidupnya bahagia sekali, sudah kaya raya, terkenal, (suaminya ganteng atau istrinya cantik) lagi, coba saya bisa seperti dia.” Menjadikan orang (sukses/ terkenal/ kaya) sebagai inspirasi sah-sah saja, tetapi kalau cuma mengkhayal saja membayangkan diri kita seperti orang bersangkutan mungkin perlu ditinjau lagi. Karena kita tidak tahu penderitaan dia seperti apa. Dan seseorang yang berandai-andai itupun sebenarnya juga ‘menderita’ secara bathin, dengan kadar yang berbeda-beda tentunya. 

 

Putu Semiada

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah sekolah bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts