September 19, 2025
Opini

Budaya Kemasan

Menarik membaca sebuah postingan netizen, sebut saja namanya ‘Ongkey’, tapi bukan Ongkey Alexander mantan bintang film Indonesia era 90-an, sebab dia tentu bukan tergolong ‘netizen’ lagi tapi ‘oldtizen’. Postingannya kurang lebih berbunyi.

“Anya* jatuh dari sepeda di Tabanan jadi trending, lah aksi sosial apa pun gak pernah trending.”

Ilustrasi: Anya Geraldine menjadi trending Twitter, Minggu (3/1/2021). Ia jatuh dari sepeda hingga badannya kotor dan dahi terluka. Photo credit: Tribunnews

Ilustrasi: Anya Geraldine menjadi trending Twitter, Minggu (3/1/2021). Ia jatuh dari sepeda hingga badannya kotor dan dahi terluka.
Photo credit: Tribunnews

Kenapa saya katakan menarik, karena sejatinya memang tidak jarang hal yang remeh temeh (sepanjang itu terjadi pada artis/selebriti) dan tergolong kejadian yang menyangkut ‘wilayah privat’ atau yang bersifat suguhan kehidupan pribadi, maka bagaikan bola salju dia akan menggelinding. Yang saya maksud ‘wilayah privat’ misalnya perceraian, kekerasan rumah tangga, selingkuh, dan sejenisnya. Itu adalah hal-hal yang paling dekat dengan realitas emosi mereka maupun pengalaman mereka. Istilah populernya: “Itu sih memang gua banget!” Hal-hal tersebut bisa mereka dapatkan pada selebriti/artis.

Literasi

Sudah menjadi rahasia umum kalau tingkat literasi di Indonesia rendah. Rendahnya tingkat literasi karena memang dari segi ‘tradisi’ tidak ada. Dan secara ‘pengkondisian’ juga tidak mendukung, misalnya pendirian perpustakaan di tingkat banjar/desa/kecamatan. Kalaupun ada usaha lewat lomba, namun setelah lomba tidak ada ‘follow up’ yang bersifat pelembagaan untuk keberlangsungan untuk menjaga semangat literasi nya. Ini sama misalnya ketika ada lomba desa. Hanya semangat sampai hari H saja dan setelah itu semangatnya biasanya turun. Dengan kata lain segala sesuatunya lebih bersifat ritual/proyek. Disamping itu ‘tren’ penggunaan gadget dalam banyak hal, semakin menjauhkan orang, terutama anak-anak dari buku.

Jadi kalau tingkat literasi saja rendah, bagaimana hendak mempelajari sesuatu lebih dalam.

Baca Juga :  Bupati Tabanan Resmikan Desa Tunjuk Menjadi Desa Digital Menuju Desa Presisi

 

Ekonomi Perasaan

Karena literasi rendah, maka karakter akan lemah sehingga cenderung menjadi pengikut saja (follower), dan bukan menjadi pelopor (trendsetter). Ingin cepat kaya, ingin tampil gemerlap, ingin cantik atau ganteng seperti artis ataupun yang sejenisnya adalah apa yang disebut oleh Mark Manson sebagai “poin-poin penderitaan” yang kemudian dimanfaatkan benar oleh ahli-ahli pemasaran yang siap menggempur perasaan dan hasrat bawah sadar orang-orang. Orang merasa malu (menderita) karena hidungnya pesek atau kulitnya kurang putih/gelap. Jangan khawatir, ada alat atau produk yang siap menuntaskan penderitaan itu. Saya kira pesan-pesan itu juga yang dibawa sama tayangan-tayangan pada media-media mainstream beserta turunannya (iklan). Jadi sangat mudah terintimidasi dengan apa yang disebut dengan trik pemasaran ‘Ekonomi Perasaan’ seperti yang digambarkan di atas.

Munculnya “Demam Korea (K-Pop)”, mungkin bisa disebut sebagai contoh akan realitas ini.

Begitu pula hal-hal lainnya yang melibatkan perasaan/emosi yang lainnya. Siapa sih yang tidak ingin kaya raya, atau mempunyai pasangan yang tampan atau cantik, terkenal dan sebagainya? Inilah yang kemudian diolah oleh media dengan menyajikan tayangan yang sejenis secara terus menerus. Sehingga mereka yang sudah tercuci otaknya (brain washed) akan susah keluar dari lingkaran ini. Kisaran hal-hal tersebut kemudian menghalangi ‘simpul-simpul emosi’ mereka yang lain, seperti kepekaan dan empati misalnya, sehingga untuk hal-hal yang di luar itu susah mereka fahami.

Pada kasus di atas misalnya, seorang artis yang hanya jatuh dari sepeda bisa ‘trending’. Secara umum orang jatuh dari sepeda adalah hal yang biasa-biasa saja, atau apa sih istimewanya sepanjang cederanya memang tidak gawat sekali. Mungkin semacam itu pertanyaan yang terbersit dalam hati si netizen tadi. Namun karena yang jatuh adalah artis, cantik pula, maka ceritanya menjadi lain. Jadi selalau ada antusiasme ketika itu menyangkut selebriti yang memang mereka idam-idamkan atau inginkan karena sosok diri mereka seolah-olah terwakili lewat selebriti/artis tadi.

Baca Juga :  Menggali Keunikan Komunikasi Anak Hasil Perkawinan Campuran

Tetapi pertanyaannya kemudian, ketika menyangkut aksi sosial, kemanusian, mengapa orang tidak begitu ‘ngeh’? Hal ini karena mereka tidak mengalaminya secara ‘emosi’, kecuali yang bersangkutan memiliki kesadaran dan kepekaannya sendiri. Saya sepakat dengan netizen tadi, ada sejumlah aksi sosial di Bali, seperti bagi pangan gratis yang dibidani oleh sejumlah anak muda yang memiliki semangat dan kepedulian, namun sayangnya tidak pernah trending atau dijadikan inspirasi atau model. Kalaupun ada, itupun terbatas pada anak-anak muda yang visinya sejalan yang tersebar di sejumlah daerah.

Terkait hal di atas puka, maka tidaklah mengherankan ketika ada tindak kejahatan atau kriminal yang dilakukan oleh orang dengan penampilan rada sangar atau kasar, maka kalimat yang terlontar dari orang-orang biasanya, “Oh pantaslah!”. Tetapi sebaliknya kalau yang melakukannya tampilan nya sopan, halus dan klimis, maka kalimat yang terlontar, “Aduh nggak nyangka ya, padahal penampilanynya kalem sekali” atau “Kok bisa ya?”

Ini merupakan ciri dari budaya kemasan, yang cenderung ‘terpesona’ dengan ‘tampilan’ luar (kemasan/make up) dari pada isi (substansi). Sialnya, dalam budaya seperti ini, konflik mudah tersulut karena pondasi argumen sering lemah karena orang-orang cenderung hanya mencari pembenaran saja dari informasi yang mendukung ‘perasaan’ mereka sendiri dan tidak berusaha mencari informasi pembanding.

 

Putu Semiada
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah sekolah bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

Related Posts