Mengenal Sisi Lain Manusia
Saat Anda berhenti di perempatan karena lampu lalu lintas yang merah menyala, kemudian ketika baru saja lampu kuning menyala, tiba-tiba pengendara yang tepat di belakang Anda membunyikan klakson (cukup keras pula). Apa reaksi Anda? Kebanyakan diantara kita pasti merasa jengkel.
Pada lain kesempatan, misalnya saat hari ulang tahun anda, ada seorang kawan anda menghadiahkan sebuah jam tangan bermerek yang selama ini memang anda ingin memilikinya. Atau hadiah-hadiah lainnya yang tergolong bernilai tinggi. Anda pasti akan merasa sangat senang sekali.
Terlepas dari apa reaksi anda, kedua peristiwa itu menimbulkan semacam desakan perasaan (emosi). Peritiwa pertama menimbulkan emosi negatif (marah, jengkel), sedangkan yang kedua emosi positif (senang, bahagia).
Apapun peristiwa yang terjadi pada anda, maka akan selalu terjadi semacam kesenjangan emosi, apakah peristiwa itu bersifat negatif maupun positif, dua-duanya dapat membangkitkan emosi (sebuah perasaan senang atau sedih sebagai sebuah reaksi atas peristiwa tersebut). Hal ini sesuai dengan Hukum Newton yang menyatakan bahwa “Setiap Tindakan Mendatangkan Reaksi Emosional dari Kadarnya Setara.”
Mungkin pernah diantara Anda mengalami peristiwa, misalnya ketika sedang asik-asiknya berjalan di halaman rumah atau di jalan, tiba-tiba terantuk oleh batu dan membuat anda hampir terjatuh bahkan mungkin terjatuh beneran. Atau misalnya di dalam rumah, tiba-tiba kaki terantuk meja. Nah, kalau seperti ini kebanyakan diantara kita akan langsung mengumpat atau mengutuk meja karena rasa jengkel. Tidak jarang pula anda akan melakukan gerakan seolah-olah akan menendang balik meja itu sambil mengumpat, “Meja Sialan!!!”
Nah, ‘umpatan’ yang Anda ekspresikan tersebut merupakan reaksi emosional untuk tujuan kesetaraan terhadap kesialan yang Anda alami. Artinya dengan mengumpat Anda merasa bahwa situasi sudah ‘netral’, karena dengan mengumpat, reaksi emosional Anda (rasa jengkel) sudah terbayar, kecuali meja itu bisa minta maaf untuk membuat suasana menjadi netral kembali.
Dengan mengumpat, maka anda merasa impas, alias kedudukan menjadi seimbang atau netral.
Lain lagi kalau ‘nasib buruk’ itu datangnya dari orang lain. Misalnya anda dimaki maki di depan orang banyak oleh seseorang yang menganggap anda memiliki hutang yang sudah lama dan anda belum mengembalikannya. Tentu saja anda akan kaget dan marah karena tidak merasa memiliki hutang dengan orang bersangkutan. Tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata yang menuduh itu salah orang dan dia kemudian meminta maaf berkali-kali sembari menyatakan penyesalannya. Disamping minta maaf orang itu kemudian mentraktir anda makan sate dan gulai kambing, misalnya. Maka kalau seperti ini, kedudukan (secara emosional) sudah ‘impas’ antara anda dan orang bersangkutan.
Yang tadi itu contoh-contoh peristiwa ‘apes’. Bagaimana halnya kalau peristiwa yang dialami menyenangkan atau membuat anda senang? Misalnya, bos anda di kantor memberikan promosi jabatan dengan gaji yang jauh lebih menjanjikan padahal masih banyak rekan-rekan kerja anda yang lebih layak mendapatkannya. Atau seperti contoh di atas, seorang teman memberikan hadiah jam tangan mahal pada hari ulang tahun anda. Maka untuk menebus ‘kesenjangan emosi’ terhadap peristiwa ini, anda tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada bos anda sembari mata anda berkaca-kaca saking harunya dan sekali waktu anda datang ke rumah bos sambil membawa oleh-oleh. Begitu pula anda juga akan menunjukan rasa terima kasih terhadap teman anda yang memberi hadiah jam tangan tadi.
Terhadap peristiwa positif yang anda alami, anda merasa berhutang budi sehingga anda melakukan tindakan-tindakan yang secara emosi membuat anda merasa setara atau impas.
Jadi hampir seluruh peristiwa yang kita alami memang melibatkan emosi. Anda merasa memiliki bakat menyanyi, maka anda akan berusaha berlatih keras meningkatkan kualitas vokal atau membeli alat musik misalnya. Istri yang terlalu mendominasi di rumah, maka anda akan berusaha mencari teman dekat untuk curhat. Setelah pemilihan umum, ternyata pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang bodoh dan tidak sesuai harapan anda, maka sebagai reaksi anda merasa rugi memilihnya dan menginginkan agar pemimpin itu segera diganti.
Intinya adalah segala gerak hidup kita, terutama terhadap peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang kita alami, suka tidak suka, akan menimbulkan reaksi emosional di dalam diri kita dan akan selalu menuntut kesetaraan atau ‘impas’.
Selalu Ingin Nyaman
‘Mencai Kebahagian’, ‘Semoga Bahagia Selamanya’ adalah ungkapan-ungkapan yang mencerminkan bahwa manusia cenderung (secara emosional) menginginkan rasa nyaman, dan berusaha sebisa mungkin menghidari kesedihan atau penderitaan, walaupun dalam kenyataan kedua hal itu selalu berdampingan. Tidak satupun manusia menginginkan penderitaan. Ini sudah pasti. Lalu apa implikasinya terhadap kehidupan atau kebiasaan kita sehari-hari? Tentu saja ada. Kita tahu bahwa membicarakan keburukan orang dibelakang adalah hal yang kurang etis. Kita tahu bahwa asupan karbohdrat berlebihan kurang bagus untuk kesehatan. Begitu pula, kebiasaan merokok adalah hal yang kurang sehat. Ada orang yang berusaha bisa bangun pagi, tapi sulit lepas dari kebiasaan bangun siang. Orang tahu olahraga membantu menjaga kebugaran tubuh, namun jangankan untuk mencobanya, mungkin terpikirkan saja belum. Nah, apa yang sebenarnya terjadi? Kecendrungan (emosional) manusia memang selalu ingin merasa nyaman. Seperti contoh di atas, membicarakan keburukan orang di belakang adalah tidak etis, namun kita tetap saja melakukannya, karena kalau tidak nge-gosip rasanya kok sepertinya tidak nyaman.
Bagaimana sebaiknya kita bersikap menghadapi ‘keterperangkapan diri’ sebagaimana digambarkan di atas. Untuk hal ini, sepertinya saya harus menyerahkan keputusannya kepada pembaca sendiri. Misalnya, dalam kasus orang di belakang anda yang membunyikan klakson ketika lampu kuning baru menyala, Anda bisa berdiam diri saja menahan geram sekaligus melatih kesabaran ataupun mengumpat untuk melepaskan kejengkelan Anda. Yang penting jangan sampai melakukan kekerasan fisik. Bisa Bahaya! Sadari saja kenyataan itu ada dan berusaha menerimanya!
Putu Semiada:
Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah sekolah bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’ ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.