Mengapa Hidup Makin Ribet?
Gianyar-kabarbalihits
Sering orang entah dengan sengaja atau tidak, membandingkan kehidupan jaman sekarang dengan kehidupan yang dahulu. Menurut mereka kehidupan terdahulu jauh lebih damai. Misalnya, mereka membandingkan kehidupan di Bali tahun 50 – 70-an lebih damai dibandingkan saat sekarang. “Pidan sing ada peturu nyama miyegan ulian tanah warisan” (Dahulu tidak ada saudara sampai harus berseteru gara-gara tanah warisan). “Pidan sing misi ada jalan macet cara jani” (Dahulu tidak ada jalanan sampai macet seperti sekarang), dan seterusnya. Anggapan itu muncul tentunya dari berbagai pengalaman mereka sehari-hari. Anggapan seperti itu tentu sah-sah aja, mengingat kompleksitas kehidupan dan permasalahannya tidak seperti sekarang. Tetapi tentu tidak sepenuhnya benar.
Anda tentu tidak mau lagi, misalnya harus berjalan puluhan kilometer dari Gianyar ke Denpasar tanpa alat transportasi. Begitu pula, Anda pasti akan berfikir dua kali untuk mandi di sungai lagi ketika fasilitas air bersih sudah tersedia di rumah, kecuali air PAM di rumah macet. Atau yang lebih ekstrim, siapa yang mau kembali ke jaman G30S ketika terjadi pembantaian puluhan ribu orang Bali oleh saudara sendiri?
Jaman modern sekarang segala sesuatunya jauh lebih banyak tersedia, sarana komunikasi lebih canggih, begitu juga halnya alat-alat transporatasi, ketersedian makanan lebih banyak, dan fasilitas kesehatan yang lebih baik. Dalam situasi seperti ini segala sesuatunya lebih mudah, seharusnya hidup bisa lebih damai, bukan? Tetapi mengapa manusia masih saja banyak yang mengeluh seolah-olah hidupnya ribet atau ruwet?
Transaksional
Saat ini hidup lebih banyak dilandasi oleh hubungan yang bersifat transaksional. Anda melakukan sesuatu tentunya mengharapkan timbal balik. Memang timbal baliknya tidak berupa materi, bisa juga bantuan dan kasih sayang maupun cinta.
Di Bali misalnya, kita dinasehati agar rajin-rajin membantu tetangga yang punya hajatan, sehingga mereka juga akan membantu kita bila kita punya hajatan. Namun tidak jarang orang yang dibantu tidak bisa membantu balik, entah karena karena keadaan tertentu, sehingga tidak datang ke hajatan orang yang pernah membantunya, maka timbulah kekecewaan dari yang membantu. Kekecewaan itu ditumpahkan dengan membicarakan orang bersangkutan di belakang. Dahulu mungkin orang masih bisa saling bantu ketika punya hajatan, ketika waktu senggang lebih banyak tersedia.
Anda tahu istri anda suka martabak. Ketika suatu hari anda pulang dari kantor atau bepergian, maka anda membeli martabak sebagai oleh-oleh untuknya. Niat anda membelikannya hendaknya memang benar-benar untuk menyenangkan atau membahagiakan istri anda semata, tanpa disertai harapan agar istri anda lebih sayang atau memuji anda sebagai suami yang perhatian atau untuk tujuan seks, misalnya. Karena ketika harapan itu tidak terpenuhi maka Anda akan kalut dan kecewa.
Tentu masih banyak aneka peristiwa seperti di atas. Intinya hubungan yang bersifat transaksional selalu berisi harapan, harapan akan balasan. Dan ketika harapan itu tidak terwujud, maka timbul kekecewaan. Dan ketika seseorang merasa kecewa dalam sebuah relasi, maka ada kecendrungan untuk menyalahkan keadaan maupun orang lain.
Inovasi
Dahulu ketika telepon genggam hanya bisa untuk menelpon dan mengirim SMS, semuanya baik-baik saja. Namun saat ini, manusia seperti balapan dengan fitur-fitur telepon genggam. Setiap seri baru muncul, maka ada fitur barunya. Hal ini menyebabkan orang terbagi fokusnya karena lebih banyak yang harus dilihat dan digunakan. Orang sering salah kirim pesan melalui WhatsApp atau Messanger; harusnya terkirim ke si A tetapi terkirim ke B. Ini yang disebut sebagai Short-term Memory Syndrome, yang diakibatkan oleh brain overload. Ini banyak terjadi saat ini.
Pengalihan
Dahulu mungkin dengan segelas kopi dan pisang goreng sudah cukup untuk bersantai. Sekarang dengan semakin banyaknya tersedia jenis minuman, terutama yang beralkohol, maka orangpun beralih ke jenis minuman-minuman tersebut untuk bersantai. Rasanya belum santai kalau tidak minum Bir misalnya. Namun masalahnya ketika minuman itu berlebihan, akhirnya anda malah mabuk berat dan harus bangun pagi dengan badan lemas, jauh dari kegembiraan yang anda harapkan. Begitu pula halnya dengan keluyuran malam bersama teman-teman ataupun jalan-jalan ke pantai. Tentu tidak ada yang salah dengan hal-hal di atas. Masalahnya adalah ketika hal-hal tersebut mulai mendominasi hidup Anda alias kecanduan.
Keinginan
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia modern selalu akan ingin memiliki lebih banyak barang, baik karena memang karena kebutuhan maupun karena gengsi. Sudah punya satu, ingin dua, sudah memiliki dua, ingin tiga, dan seterusnya. Repotnya ketika kita menjadikan barang-barang itu sebagai tujuan dan bukan sebagai alat. Memiliki lebih banyak akan membuat kita memperlakukan orang lain sebagai sarana dan membuat diri cemas.
Pilihan
Sejalan dengan perkembangan jaman, maka semakin banyak pilihan yang tersedia. Makin banyak pilihan cenderung membuat kita semakin bingung. Semakin banyak variasi, semakin sulit kita membuat pilihan. Misalnya, kalau kita pergi ke sebuah restoran. Kalau kita pergi ke restoran yang hanya menyediakan dua atau tiga macam menu, maka kita tidak akan terlalu sulit memilih. Bandingkan dengan restoran yang menyediakan aneka menu sampai puluhan jenis menu. Bagaimana melepaskan diri dari hidup yang ribet dan ruwet tersebut? Lepaskan diri dari hidup yang bersifat transaksional yakni bertindak tanpa pamrih alias keluar dari kebiasaan tawar menawar. Simpelnya, membantu tanpa mengharapkan balasan. Dan tentu saja bersyukur, merasa senang atau bahagia dengan apa yang anda miliki atau keadaan Anda saat ini, tidak mnegeluh sambil tetap berusaha hidup dengan lebih baik.