July 8, 2024
Opini

Mengingat Pesan Ungkapan Buka Wayange a Gedog

Hari Sabtu tanggal 25 November 2023, warga Hindu di Bali khususnya merayakan hari suci tumpek wayang. Seperti hari-hari suci Hindu di Bali lainnya tumpek wayang dirayakan setiap enam bulan sekali sesuai kalender Bali sebagai wujud pengormatan terhadap Tuhan yang bersetana di wayang itu sendiri. Di samping tumpek wayang, juga ada hari-hari suci sejenis seperti tumpek kandang, tumpek landep, dan tumpek bubuh.

Dilihat dari namanya, hari-hari suci tersebut menngunakan kata tumpek yang berarti Saniscara ‘hari Sabtu’ yang bertepatan dengan Kliwon sehingga tumpek dianggap hari suci sehingga digunakan sebagai hari baik untuk memperingati upacara penghormatan terhadap binatang, tumbuhan, dan benda mati seperti senjata serta wayang. Seluruh rahinan tumpek itu sesungguhnya merepresentasikan banyak pesan kepada manusia khususnya umat Hindu seperti pada tumpek wayang salah satunya kita ditipkan pesan atas ungkapan buka wayange a gedog.

Buka wayange a gedog adalah salah satu ungkapan pribahasa bahasa Bali yang berkonotasi dengan wayang kulit. Wayang kulit tergolong sebagai kesenian klasik dan sangat populer di kalangan masyaraat Bali yang hingga kini masih dipentaskan dan menjadi salah satu kesenian tradisional yang tetap diminati oleh masyarakat Bali. Kesenian wayang kulit di Bali sesungguhnya berasal dari tanah Jawa yang dibawa ke Bali oleh orang-orang Jawa pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit ketika itu.

Dalam perjalanannya di Bali wayang kulit menunjukkan perkembangan yang sangat pesat baik dari segi sebarannya maupun jumlahnya. Rasanya tidak ada daerah atau desa di Bali yang tidak memiliki wayang kulit. Demikian pula dalam hal jumlah, setiap desa di Bali paling tidak memiliki satu kelompok kesenian wayang kulit. Sebagai sebuah kesenian tradisional, wayang kulit dipentaskan di sebuah panggung atau di suatu tempat yang cukup untuk ditata dengan penempatan keperluan pementasan seperti batang pisang, kelir ‘layar’, lampu gantung, gedog ‘peti wayang’, dalang, ketengkong ‘asisten dalang’, dan instrumen gamelan beserta penabuhnya. Para penontonnya duduk rapi dan menyaksikan wayang kulit dari balik layar di mana sang dalang duduk bersila di posisi tengah layar yang terpasang di atas batang pisang. Meski tergolong sebagai sebuah kesenian wayang kulit di Bali tidak dipentaskan semata-mata untuk tujuan hiburan, akan tetapi wayang kulit oleh masyarakat Bali hanya disebut wayang saja dan kata itu sudah merujuk ke wayang kulit.

Baca Juga :  Penguatan Hukum Adat Melalui Penyuratan Awig-Awig

Dalam kesehariannya wayang disimpan di sebuah gedog. Jumlah wayang di gedog itu sangat relatif, namun rata-rata berjumah 180 buah tergantung pada cerita dan variasi yang ingin dipentaskan oleh sang dalang. Dalam pementasannya, wayang-wayang tersebut dikeluarkan dan ditancapkan pada batang pisang secara berjajar dan mengelompok secara terpisah di sebelah kanan, di sebelah kiri, dan di bagian tengah persis di depan sang dalang. Masing-masing kelompok itu merepresentasikan suatu sifat atau karakter. Kelompok di sebelah kanan dalang adalah kumpulan wayang dengan karakter baik, halus, suci, agamawan, bijak, dan sejenisnya. Di sisi lain, di sisi kiri dalang kelompok wayang dengan karakter buruk, raksas, jahat, buas, rakus, biadab, dan sejenisnya.

Wayang yang berada di bagian tengah berjumlah satu buah yang disebut kayon yang melambangkan bumi beserta isinya dengan fungsinya secara umum hanya sebagai pembuka dan penutup setiap pementasan wayang. Sesaat setelah kayon tampil pada sesi pembukaan itu, satu persatu wayang-wayang lainnya sesuai alur cerita dan keinginan sang dalang secara bergantian tampil ke tengah kelir. Pada bagian awal tentu yang hadir muncul adalah beberapa wayang dalam jumlah terbatas namun dengan kedudukan mahapenting serta ditemani oleh para ajudan untuk menampilkan prolog pementasan.

Berikutnya hadir ke tengah-tengah kelir wayang-wayang pengendali yang menampilkan alur utama pementasan dengan berbagai macam tema dan dialog seperti pertemanan, cinta, perdebatan, pertikaian, banyolan, perkelahian, dan bahkan peperangan. Semua kisah itu dilakoni oleh para wayang dalam adegan-adegan yang amat sempurna. Misalnya, dalam tema cinta itu para wayang tampil dan berdialog dengan menggunakan bahasa yang ungkapan-ungkapan pujian, rayuan, dan sejenisnya.

Tema yang paling seru yang dimainkan oleh para wayang adalah perkelahian atau peperangan antara dua kelompok wayang kanan dan kiri yang hubungan mereka musuh abadi. Pada tema-tema tersebut para wayang juga tidak kalah sempurna dalam menampilkan adegan-adegan berkelahi atau berperang. Pada awal cerita itu para wayang terlibat konflik verbal dengan ungkapan-ungkapan makian atau sumpah. Konflik verbal itu pasti berlanjut ke konflik fisik, yakni perkelahian atau peperangan dengan jurus, senjata tajam maupun senjata api. Strategi dan alutsista pertempuran para wayang tergolong super canggih dan melibatkan para dewa.

Baca Juga :  Ketua DPRD Badung Putu Parwata, Bantu Peternak Babi di Badung

Alurnya tampak serupa dengan kisah-kisah dalam film India yang di bagian awal mengisahkan kelompok kanan dengan karakter baik itu pasti tertipu, terzolimi, atau kalah dari kelompok kiri yang berkarakter buruk atau jahat. Kemudian mereka bertempur habis-habisan dan di bagian selanjutnya kelompok kanan pasti menang dan kelompok kiri pasti kalah dengan korban meninggal yang tidak sedikit jumlahnya. Semua alur cerita para wayang itu berakhir dan ditutup dengan penampilan kembali kayon sebagai penutup pementasan, dan mereka semua yang tadinya dalam konflik, bertikai, perkelahian, saling bunuh kembali masuk ke dalam gedog mereka.

Kisah para wayang di pentas dengan segala macam adegan mereka itu menyisakan satu ungkapan penting, yakni buka wayange a gedog. Ungkapan buka wayang a gedog sesungguhnya sangat populer bagi masyarakat Bali, khususnya di kalangan usia dewasa dan tua. Di dalam bahasa Bali, ungkapan buka wayange a gedog itu termasuk kategori sesenggakan yang secara harfiah berarti sindiran. Sebagaimana bentuk, makna, dan fungsinya, sesenggakan buka wayang a gedog lebih cenderung digunakan dalam komunikasi lisan sehari-hari masyarakat Bali.

Buka wayang a gedog berarti bagai wayang di dalam satu peti wayang kulit, dan di dalam komunikasi sehari-hari masyarakat, ungkapan tersebut diujarkan dalam konteks menyampaikan nasihat, guyonan, dan sindiran. Sebagai nasihat, buka wayange a gedog diungkapkan untuk merujuk pada konteks betapa rukunnya hubungan orang baik dalam pertemanan maupun keluarga. Meski orang-orang itu dalam kesehariannya mengalami konflik hingga perselisihan, namun hubungan sebagai teman atau keluarga diupayakn tetap utuh dan rukun. Kemudian, sebagai ungkapan yang menyatakan guyonan atau sindiran, buka wayange a gedog  diungkapkan kepada seseorang yang mengomentari atau memperdebatkan orang-orang yang sedang bersaing dalam meraih suatu jabatan.

Baca Juga :  Keren, Mahasiswa Teknik Pertanian dan Biosistem FTP Unud Didanai 140 Juta oleh Google dan Kemendikbudristek dalam Pengembangan Aplikasi Ambroise

Biasanya suasana akan menjadi panas dan bahkan sengit ketika komentar atau perdebatan itu dilakukan tentang orang-orang yang berjuang untuk jabatan di tingkat wilayah yang lebih tinggi dengan keterlibatan persaingan orang dalam jumlah yang lebih banyak, kekuatan besar, dan strategi yang sangat rumit. Pada tingkat tinggi itu, orang-orang tersebut satu sama lain bersaing hebat dengan mengupayakan segala sumber daya mereka untuk saling membangun opini dan bahkan menyerang dengan ungkapan-ungkapan tajam serta diwarnai berbagai ragam respon seperti amarah, sedih, dan juga tangisan. Dalam konteks persaingan jabatan itulah, orang Bali akan mengungkapan buka wayange a gedog, dengan harapan seseorang akan berhenti mengomentari atau memperdebatkan orang-orang yang bersaing untuk suatu jabatan. Demikianlah, buka wayange a gedog.

Related Posts