November 17, 2025
Opini

Mana Tahan

Beberapa hari yang lalu saya sedang asyik di depan computer, tiba-tiba asisten rumah tangga saya, nyeletuk:

“Yen sing siap nden, de nyemak gae ane tegeh-tegeh!” (Jangan mengambil pekerjaan yang tinggi kalau belum siap). Rupanya dia sempat melirik ke arah layar komputer saya yang menampilkan berita yang lagi viral tentang percakapannya WA antara seorang sulinggih (pemuka agama) dengan seorang yang diduga murid (sisya) nya.

Saya pun penasaran karena pernyataannya seperti menjawab bahwa asisten rumah tangga saya percaya bahwa peristiwa (percakapan) itu benar. Ketika saya tanyakan kenapa dia sampai pada pernyataannya seperti itu, dia pun menjawab bahwa gampang saja. Pelajari berita pertama kemudian ‘cross-check’ dengan konfirmasi dari yang bersangkutan, apakah pernyataan/sanggahan/argumennya ‘kuat’, ‘nyambung’ atau masuk akal tidak, jika dikaitkan dengan berita yang muncul. Kalau tidak nyambung, lemah, mengada-ngada, atau semacamnya, maka kemungkinan percakapan itu benar. Bahasa kerennya, mungkin ‘connecting the dot.’

Reaksi dari ‘netizen’ terhadap peristiwa tersebut tentu saja bermacam-macam, ada yang mengecam, ada yang membela, simpati, nyinyir dan sebagainya. Reaksi yang beraneka itu tentu didasari oleh, latar belakang, kerangka pengalaman, ketajaman pemikiran dan sebagainya.

Namun yang hendak menjadi perhatian saya adalah mengapa peristiwa seperti ini selalu terjadi berulang-ulang. Ini mengacu kepada peristiwa seorang rohaniawan terkemuka yang beberapa tahun yang lalu dilaporkan karena disinyalir melakukan pelecehan seksual terhadap salah seorang muridnya.

Ada pula ‘curhatan’ seorang wanita asing tentang perlakuan yang diterimanya dari guru rohaninya yang sekaligus pemilik sebuah asram. 

Peristiwa semacam itu pastinya banyak menyita perhatian orang. Beda halnya ketika hal semacam itu terjadi di kalangan dunia keartisan. Meskipun nantinya juga mendapat perhatian kalayak ramai, namun orang akan mahfum mengingat tingkat ‘kepermisifan’ orang jelas berbeda terhadap dunia spiritual dengan dunia keartisan atau bidang-bidang yang lain. 

Nilai dan Etika

Arah perjalanan hidup seseorang sangat ditentukan prinsip, nilai, standar yang dia pegang dan yakini, dan kedewasaan atau kematangan seseorang sangat ditentukan seberapa teguh (konsisten) seseorang memegang nilai tersebut atau seberapa kuat imannya dalam menjunjung nilai-nilai yang dia pegang. 

Misalnya seseorang yang meng-iman-kan dirinya pada ‘karma-pala’, maka akan pantang untuk mencuri, seberapa pun susah atau sulit hidupnya. Begitu pula orang yang menjunjung nilai ‘kejujuran’, pantang baginya untuk berbohong. Namun jika memang seseorang yang memiliki watak pembohong atau kepentingannya menghendaki dia harus berbohong, maka nilai kejujuran menjadi sesuatu yang abu-abu. Seseorang yang menjunjung nilai kesetian tentu akan pantang untuk terlibat skandal asmara ataupun selingkuh. Tetapi tentu nilai ini tidak berlaku untuk seseorang yang melakoni diri sebagai ‘play-boy’ misalnya. 

Dalam skup yang lebih besar, yakni terkait profesi, maka ada nilai-nilai atau etika yang dipegang. Seorang pegiat seni atau sastra, pantang untuk menjiplak karya orang. 

Ketika nilai-nilai itu menjadi sesuatu yang diterima secara umum dalam keseharian maka dia menjadi etika. Jika seseorang melanggar nilai yang dia pegang maka dia akan mendapat sangsi dari dirinya sendiri, dengan asumsi bahwa hanya yang bersangkutan saja yang tahu apa yang dia langgar. Begitu pula ketika seseorang melanggar etika, maka dia akan mendapat hukuman, disamping hukuman dari dalam diri sendiri, juga ada sanksi sosial berupa cemohan, sindiran, kecaman dan semacamnya yang tentu saja akan berpengaruh pada keadaan kejiwaan yang bersangkutan.

Kembali kepada celetukan asisten rumah tangga saya, maka ada dua hal pokok bagaimana seseorang bisa kuat atau konsisten memegang nilai-nilai yang dianut, khusunya menyangkut orang yang dihormati secara kerohanian.

Pertama kesiapan secara mental dan spiritual untuk semakin melepaskan diri dari keduniawian. Etika atau katakanlah aturan tidak tertulis menyatakan bahwa seseorang yang melakoni spiritual akan semakin menjauhkan diri atau tidak lagi terlalu memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi.

Sederhananya bagaimana seseorang bisa mengontrol inderanya. Sejumlah penganut aliran kepercayaan di Jawa malah melakukan laku batin yang ketat serta menghindari perilaku tercela untuk mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi. Bahkan konon di jaman kerajaan Majapahit, pemilihan seorang menjadi sulinggih sangat ketat bahkan mesti mendapat restu dari raja sehingga lahir sulinggih yang benar-benar kredibel, sangat dihormati dan disegani. 

Memang ketika jiwa masih dibalut dengan badan kasar, nafsu, keinginan, masih ada. Namun karena sudah memilih profesi tersebut, maka konsekwensinya mau tidak mau, suka tidak suka nilai dan etika yang telah disepakati semetinya bisa dijunjung dan dilaksanakan. 

Baca Juga :  Paradoks Kehidupan

Kedua, seseorang mengambil sebuah profesi, tentu berkaitan erat dengan motivasi mengapa dia memilih profesi tersebut. Dari apa yang pernah saya baca, jika seseorang memilih sebuah profesi memang murni karena panggilan jiwanya, maka yang bersangkutan akan lebih kuat memegang nilai atau etika yang berkaitan dengan profesi tersebut. Jika motivasinya lebih bersifat materi, atau hal-hal yang lebih duniawi, maka nilai dan etika akan menjadi lemah. Sehingga seseorang memang dituntut siap secara mental, emosional dan spiritual ketika melakoni diri sebagai pemuka agama. Karena kalau tidak, maka ketika ada godaan duniawi di depan mata, maka jadinya, “Mana Tahan”. 

Riwayat Penulis :

Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1990), sempat lama bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor perencanaan lanskap dan ‘nyambi’ sebagai pramuwisata paruh waktu. Saat ini mengelola sebuah Sekolah Bahasa Inggris. Sudah menulis 3 buah buku bertema ‘self-help’  ‘Lagasan Bayune’, Tegtegan Bayune’ dan ‘, ‘Lemesin Bayune’.

 

Related Posts