
Saksi Ahli Bahasa : “ Kita Harus Melihat Posisi Jerinx Sebagai Seorang Penulis Lagu Yang Memiliki Diksi Berbeda Dengan Orang Lain “
Denpasar – kabarbalihits
Sidang terdakwa kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, atas nama I Gede Ari Astina alias Jerinx SID, di Pengadilan Negeri Denpasar, pada Kamis (22/10) digelar dengan agenda pemeriksaan saksi ahli bahasa dan saksi ahli pidana yang meringankan pihak terdakwa.
Saksi ahli bahasa, Jiwa Atmaja menyampaikan bahwa kita harus melihat posisi Jerinx sebagai seorang penyair dan penulis lagu.
Seorang penyair atau penulis lagu menurutnya memiliki diksi yang berbeda dengan orang lain, hal itu tidak dilihat oleh jaksa.
https://youtu.be/VjhKSm5l4pg
Bahwa seorang penulis lirik dan penyair memiliki diksi yang berbeda dengan orang lain, diksi yang digunakan itu menyebabkan satu kata berbeda dengan arti leksikal dari kamus bahasa.
“ ketika satu kata kacung dan menyerang itu konotasinya buruk di leksikal kamus bahasa, namun dalam diksi seorang penyair tidak, kata menyerang tidak memiliki kekuatan untuk menyerang. Misalnya tidak akan berhenti menyerang, maksudnya tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya di jawab” ujarnya.
Sementara Ahli pidana, Hery Firmansyah menyampaikan pandangannya bahwa ketentuan aksi pidana memang ada di undang undang, namun apabila kita bicara tentang penegakan hukum, kita tidak hanya bicara tentang undang – undang secara ansik, kita harus melihat pada nuansa keadilannya.
“Dalam praktik hukum ini bisa menimbulkan tafsir atau tidak, sehingga banyak korban yang muncul dari proses penegakan hukum yang sejatinya bukan dianggap sebagai perbuatan kriminal, hanya untuk ekspresi berpendapat. Kita sepakat kebebasan mengeluarkan pendapat itu ada batasan dan aturan mainnya demi menjaga tertib hukum, tapi ketika ada satu persoalan disana rasa rasanya hukum pidana itu masih bisa kita letakkan di ujungnya saja” ujarnya.
Kuasa hukum Jerinx, Gendho Suardana mengatakan, sesuai dengan kesaksian dari saksi ahli yang dihadirkan, bahwa kasus ini atau dua pasal ini lumer karena unsurnya tidak bisa dipenuhi.
Pertama tidak ada korban yang dihadirkan, kejahatan itu harus ada pelaku dan korban.
“ Dalam kontek pasal 27 korbannya harus mengadu langsung, tapi dalam kenyataannya ketua umum PB IDI tidak diperiksa dan tidak memberikan keterangan, artinya tidak ada korban disini, dan pengaduan tidak bisa diwakilkan sesuai dengan delik aduan pasal 27 undang – undang ITE. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks pasal 28, karena dalam hukum pidana tidak mengenal surat kuasa sebagai korban. Karena korbannya tidak ada maka pada titik itu unsur dari dua pasal yang dilaporkan tidak bisa terpenuhi” jelasnya. (timkbh)


