
Menggali Keunikan Komunikasi Anak Hasil Perkawinan Campuran
Oleh: ANAK AGUNG SAGUNG ANGGITA DARMA JAYANTI
Dalam era globalisasi yang semakin berkembang, kemampuan untuk berkomunikasi dalam berbagai bahasa menjadi semakin penting. Di tengah perbincangan ini, latar belakang keluarga telah terbukti memiliki peran yang kuat dalam membentuk keterampilan komunikasi anak-anak mereka.
Fenomena menarik ini dikenal sebagai bilingualisme, di mana anak-anak mampu berbicara dalam dua bahasa sejak lahir. Namun, bukan hanya kemampuan bilingual yang menarik perhatian para peneliti, melainkan juga bagaimana bahasa-bahasa ini terbangun dan bersatu dalam suatu harmoni linguistik yang menakjubkan. Dalam dunia sosiolinguistik, bahasa seringkali diibaratkan sebagai kode-kode yang membentuk sistem kompleks komunikasi manusia.
Tetapi, hal yang menarik adalah bagaimana kode-kode ini dapat saling berpadu dan bahkan menciptakan kode baru melalui proses yang menarik, yang dikenal sebagai percampuran kode. Jika Anda pernah mendengar seseorang yang secara lancar berbincang-bincang dalam dua bahasa atau bahkan mencampur beberapa kata dari bahasa yang berbeda dalam satu kalimat, Anda telah menyaksikan fenomena pencampuran kode ini.
Pencampuran kode adalah seperti memadukan cat warna yang berbeda untuk menciptakan palet baru yang menarik. Ini bukan hanya tentang mencampur sejumlah kata atau frasa, melainkan juga menggabungkan klausa atau bahkan kalimat lengkap dari dua atau lebih bahasa yang berbeda dalam percakapan sehari-hari. Bagi sebagian orang, pencampuran kode mungkin terjadi secara alami ketika mereka beralih antara bahasa yang mereka kuasai dengan mudah.
Berikut beberapa contoh percakapan percampuran kode yang terjadi: Mommy : “you look so jelek Kassie… What? You think you jelek or not?” Kassie : “not, I beautiful… I is cantik”. Berdasarkan percakapan di atas, Kassie dan ibunya sedang bermain rias wajah. Dalam hal ini ibu menyisipkan frasa kata sifat bahasa Indonesia dalam kalimat bahasa Inggris “you look so jelek Kassie”.
Dan disisipkan lagi dalam kalimat lainnya “What? You think you jelek or not?”. Kata “jelek” berarti ugly dalam bahasa Inggris. Fenomena ini dikategorikan sebagai penyisipan, pencampuran dari satu bahasa ke bahasa lain dalam satu kalimat. Mommy : “Miss you daddy…” Nicholas : “Miss you daddy, kok isi naik lagi?” Mommy: “Iyalah…”. Berdasarkan data di atas, Nicholas dan ibunya mengunjungi makam ayahnya ayahnya di pemakaman.
Percakapan ini dikategorikan sebagai alternasi. Terdapat peralihan peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain, yang melibatkan tata bahasa dan leksikon. Dalam percakapan ini, dapat kita lihat pada ” Miss you daddy, Kok isi naik lagi?”. Nicholas beralih dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Ia mengganti bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Kayle : “and the dino saurus just… just… just mati, just that dinosaurus…The… the nice one is, mommy necknya long itu apa namanya? Yang kaya dinosaurus?” Mommy : “dinosaurus juga…” Berdasarkan data, di tengah percakapan Kayle menyisipkan kata “mati” dalam bahasa Indonesia dan ia mencampurkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia pada kalimat terakhir.
Kasus ini dikategorikan sebagai leksikalisasi kongruen, yang mengacu pada situasi di mana dua bahasa memiliki struktur tata bahasa yang dapat diisi secara leksikal dengan unsur-unsur dari salah satu bahasa. Mommy : “Kayle mommy take a picture cool one! Why you not stand cool, just one picture, come on! Kayle be nice” Kayle :“tapi mommy promise ya kasi something!” Berdasarkan data yang ditemukan di atas, data ini dikategorikan sebagai leksikalisasi kongruen yang mengacu pada situasi di mana dua bahasa yang memiliki struktur gramatikal yang sama, karena beberapa frasa bahasa Inggris bercampur dengan kalimat bahasa Indonesia dan kedua bahasa tersebut disisipkan secara disisipkan secara acak. Kayle menyisipkan frasa konjungsi bahasa Indonesia dan frasa kata kerja dalam kalimat bahasa Inggris.
Campur kode dapat terjadi karena beberapa faktor seperti persepsi latar belakang bahasa lawan bicara, dominasi bahasa, sikap bahasa, motivasi psikolinguistik, dan kemudahan dalam pencampuran bahasa. Dalam komunikasi anak campuran, faktor-faktor yang paling sering terjadi adalah dominasi bahasa, sikap bahasa, dan motivasi psikolinguistik. Anak-anak ini cenderung menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan keluarga mereka karena bahasa tersebut menjadi dominasi bahasa yang mereka kuasai. Sikap bahasa timbul karena anak-anak ini ingin menunjukkan kreativitas mereka dalam menggunakan kata-kata. Selain itu, motivasi psikolinguistik juga menjadi faktor yang sulit bagi anak-anak ini dalam mencari beberapa kata dalam bahasa Inggris. Sebagai hasilnya, mereka memilih untuk mencampurkan bahasa yang lebih akrab dengan mereka.(r)